Hendri Kampai: Dari Pertamax 'Oplosan' Sampai Pemimpin dan Kebijakan 'Oplosan' Ada di Indonesia

1 month ago 28

PEMERINTAHAN - Di Indonesia, istilah oplosan tidak sekadar merujuk pada campuran bahan yang menurunkan kualitas, tetapi juga menjadi metafora bagi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika sebelumnya kata oplosan identik dengan minuman keras dan bahan bakar yang dicampur demi keuntungan pribadi, kini kita melihat praktik serupa dalam kepemimpinan dan kebijakan publik.

Fenomena ini bukan sekadar kebetulan. Ada pola yang berulang di mana sesuatu yang seharusnya murni dan berstandar tinggi justru dicampur dengan kepentingan sesaat, menghasilkan produk yang tidak sesuai dengan harapan. Artikel ini akan mengurai bagaimana oplosan dalam berbagai bentuk telah menjadi masalah sistemik yang berdampak luas terhadap masyarakat.

1. Pertamax Oplosan: Ketika BBM Tak Lagi Murni, Siapa yang Dirugikan?
Kasus Pertamax "oplosan" adalah contoh nyata bagaimana manipulasi terjadi di sektor energi. Dengan harga BBM yang tinggi, muncul oknum yang mencampur Pertamax dengan bahan lain demi meraup keuntungan lebih besar. Praktik ini merugikan masyarakat dalam banyak hal:

Menurunkan Kualitas BBM: Campuran yang tidak sesuai standar menyebabkan pembakaran tidak sempurna di dalam mesin kendaraan. Ini mengakibatkan konsumsi bahan bakar lebih boros dan mempercepat keausan komponen mesin.
Merusak Lingkungan: BBM oplosan sering kali memiliki emisi yang lebih buruk, meningkatkan pencemaran udara dan membahayakan kesehatan masyarakat.
Ketidakpastian Harga dan Kepercayaan: Masyarakat yang membayar lebih untuk BBM berkualitas tinggi justru mendapatkan produk yang tidak sesuai dengan standar. Ini mengikis kepercayaan terhadap pengelolaan energi nasional.
Yang menarik, kasus seperti ini sering kali hanya menyeret pelaku kecil, seperti pengecer atau pengoplos lokal, sementara aktor besar di balik skema ini sering luput dari sanksi berat.

2. Pemimpin Oplosan: Ketika Kepemimpinan Tak Lagi Berbasis Kapabilitas
Di ranah politik, kita melihat fenomena pemimpin oplosan—pemimpin yang tidak lahir dari kompetensi dan rekam jejak yang kuat, tetapi dari kompromi politik yang berisiko. Ini melahirkan kepemimpinan yang tidak memiliki arah jelas dan sering kali gagal dalam eksekusi kebijakan.

Ciri-ciri Pemimpin Oplosan:
Tidak Memiliki Kapabilitas yang Memadai
Banyak pemimpin yang dipilih bukan karena kompetensinya dalam mengelola negara atau daerah, melainkan karena kepentingan politik atau popularitas semata. Hasilnya, mereka sering kali gagap dalam menjalankan tugas dan cenderung bergantung pada orang-orang di sekitarnya.

Mengandalkan Gimmick Ketimbang Kinerja Nyata
Pemimpin seperti ini lebih sering muncul di media sosial dengan pencitraan positif, tetapi kebijakannya tidak berdampak nyata bagi masyarakat. Program-program populis dicanangkan, tetapi tanpa perhitungan matang dan implementasi yang jelas.

Bergantung pada Aliansi Politik, Bukan Rakyat
Karena naik ke tampuk kekuasaan berkat kompromi politik, pemimpin oplosan lebih banyak mengakomodasi kepentingan kelompoknya ketimbang aspirasi rakyat. Ini berbahaya karena kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak independen.

Dampak Pemimpin Oplosan:
Kebijakan yang Tidak Konsisten – Sering kali terjadi perubahan kebijakan hanya karena pergantian pemimpin, tanpa memperhitungkan kesinambungan program yang sudah berjalan.
Kurangnya Reformasi Struktural – Pemimpin yang tidak memiliki visi jangka panjang cenderung menghindari reformasi besar yang mungkin tidak populer, tetapi sangat dibutuhkan.
Tingginya Korupsi dan Nepotisme – Karena pemimpin oplosan tidak memiliki pijakan kuat dari segi kapabilitas, mereka lebih mudah dipengaruhi oleh lingkaran oligarki yang memiliki kepentingan bisnis dan politik.

3. Kebijakan Oplosan: Ketika Regulasi Hanya Setengah Matang
Kebijakan yang baik seharusnya berbasis pada riset, kajian ilmiah, serta mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan dampak jangka panjang. Sayangnya, banyak kebijakan di Indonesia yang justru merupakan hasil dari campuran berbagai kepentingan yang saling bertentangan.

Contoh Kebijakan Oplosan:
Kebijakan Ekonomi yang Tidak Konsisten
Di satu sisi, pemerintah ingin menarik investasi asing dengan berbagai insentif. Namun, di sisi lain, regulasi yang berubah-ubah membuat investor enggan berkomitmen jangka panjang. Akibatnya, investasi yang masuk lebih banyak bersifat spekulatif daripada produktif.

Kurikulum Pendidikan yang Sering Berganti
Dalam beberapa dekade terakhir, sistem pendidikan di Indonesia mengalami banyak perubahan kurikulum yang cenderung membingungkan tenaga pendidik dan siswa. Alih-alih memperbaiki kualitas pendidikan, kebijakan yang berubah-ubah justru membuat dunia pendidikan tidak memiliki arah yang jelas.

Kebijakan Energi yang Tidak Berpihak pada Kemandirian Nasional
Indonesia memiliki sumber daya energi yang melimpah, tetapi kebijakan yang dibuat justru masih terlalu bergantung pada impor. Di satu sisi, pemerintah mendorong penggunaan energi terbarukan, tetapi di sisi lain subsidi untuk energi fosil masih tinggi. Ini menciptakan kebijakan yang tidak selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Mengapa Kebijakan Oplosan Berbahaya?
Tidak Berdampak Jangka Panjang – Kebijakan yang dibuat hanya untuk kepentingan jangka pendek, sering kali dalam rangka memenuhi target politik sesaat.
Menimbulkan Ketidakpastian Regulasi – Investor, pengusaha, dan masyarakat sulit beradaptasi jika kebijakan terus berubah tanpa arah yang jelas.
Membebani Masyarakat – Kebijakan yang tidak matang sering kali berujung pada pemborosan anggaran negara, yang pada akhirnya ditanggung oleh rakyat melalui pajak atau kenaikan harga barang dan jasa.

4. Efek Jangka Panjang: Ketika Oplosan Menjadi Budaya
Jika praktik oplosan dalam berbagai aspek kehidupan tidak dihentikan, kita akan menghadapi konsekuensi serius, seperti:

-Meningkatnya Ketidakpercayaan Publik terhadap pemerintah dan institusi negara.
-Kerusakan Sistemik yang sulit diperbaiki karena setiap pemimpin baru akan lebih memilih memulai dari nol ketimbang melanjutkan program sebelumnya.
-Kehilangan Daya Saing Global akibat kebijakan yang tidak konsisten dan kepemimpinan yang tidak visioner.

5. Solusi: Kembali ke Kemurnian dan Integritas
Agar Indonesia keluar dari budaya oplosan, kita perlu langkah konkret seperti:
-Memilih Pemimpin Berdasarkan Kapabilitas, Bukan Popularitas
-Masyarakat harus lebih kritis dalam memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak jelas dan visi jangka panjang, bukan sekadar janji manis.

Menerapkan Kebijakan yang Berbasis Riset dan Keberlanjutan
Kebijakan publik harus dibuat dengan mempertimbangkan data, kajian akademik, serta evaluasi dampak jangka panjang.

Memperkuat Transparansi dan Akuntabilitas
Setiap kebijakan dan keputusan pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan dengan data dan logika yang jelas.

Indonesia Butuh Kemurnian, Bukan Oplosan
Dari Pertamax yang dioplos demi keuntungan, hingga pemimpin dan kebijakan yang dicampur dengan kepentingan kelompok tertentu, kita melihat pola yang sama: hilangnya kemurnian dan integritas dalam berbagai aspek kehidupan. Jika Indonesia ingin maju, kita harus menuntut kualitas terbaik—dari bahan bakar, pemimpin, hingga kebijakan yang dijalankan.

Saatnya mengakhiri era oplosan dan kembali ke esensi yang sebenarnya.

Jakarta, 28 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |