POLITIK - Indonesia adalah negeri yang kaya akan budaya dan tradisi, tetapi juga menyimpan fenomena yang ironis: budaya "oplosan". Istilah "oplosan" yang awalnya merujuk pada praktik mencampur minuman beralkohol dengan zat lain untuk menghasilkan efek yang lebih kuat atau untuk menghemat biaya, kini telah meluas penggunaannya ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam politik dan kepemimpinan. Dari minuman keras berbahaya yang merenggut nyawa hingga kepemimpinan yang tidak murni alias hasil "campuran" dari berbagai kepentingan, fenomena ini mencerminkan bagaimana budaya manipulasi dan ketidaktulusan masih mengakar di berbagai sektor.
Oplosan Minuman: Murah Tapi Mematikan
Praktik mencampur minuman keras dengan zat berbahaya seperti methanol, etanol teknis, atau bahan kimia lainnya telah menjadi momok di Indonesia. Banyak kasus kematian terjadi akibat konsumsi minuman oplosan, terutama di kalangan masyarakat ekonomi bawah yang tidak mampu membeli minuman beralkohol legal.
Di berbagai daerah, terutama di pinggiran kota dan desa, minuman oplosan sering kali dibuat dengan mencampur alkohol industri, minuman energi, hingga cairan pembersih. Tujuannya? Untuk mendapatkan efek mabuk dengan harga murah. Sayangnya, akibatnya bisa fatal: dari kebutaan, gagal organ, hingga kematian. Meski sudah banyak razia dan penindakan hukum, minuman oplosan tetap beredar, menunjukkan lemahnya regulasi dan rendahnya kesadaran masyarakat tentang bahaya konsumsi zat beracun ini.
Oplosan dalam Kepemimpinan: Antara Kekuatan dan Kelemahan
Tidak hanya minuman keras, konsep "oplosan" juga terlihat dalam dunia politik dan kepemimpinan di Indonesia. Banyak pemimpin yang lahir bukan dari ketulusan visi dan kapasitas kepemimpinan yang mumpuni, melainkan dari hasil kompromi dan kepentingan berbagai pihak. Pemimpin seperti ini sering kali disebut sebagai pemimpin "oplosan"—bukan karena latar belakang mereka yang campuran, tetapi karena mereka adalah hasil campuran kepentingan oligarki, partai politik, dan kelompok bisnis yang ingin mengendalikan kebijakan negara.
Pemimpin "oplosan" ini biasanya lemah dalam mengambil keputusan karena harus memenuhi banyak kepentingan. Alih-alih fokus pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat, mereka sibuk menjaga keseimbangan antara berbagai pihak yang menopang kekuasaan mereka. Akibatnya, kebijakan sering kali tidak konsisten, penuh tarik-menarik, dan hanya menguntungkan segelintir orang.
Oplosan dalam Demokrasi: Pemilu yang Didesain untuk Menang, Bukan untuk Rakyat
Fenomena lain yang tak kalah menarik adalah bagaimana pemilu di Indonesia sering kali menjadi ajang "oplosan" politik. Aliansi yang terbentuk bukan berdasarkan kesamaan ideologi atau visi, tetapi lebih kepada strategi untuk menang. Partai-partai yang sebelumnya berseberangan bisa dengan mudah berkoalisi demi kekuasaan, tanpa memikirkan bagaimana mereka akan menjalankan pemerintahan setelahnya.
Akibatnya, pemilih sering kali dihadapkan pada pilihan yang terbatas dan tidak ideal. Mereka dipaksa memilih dari kandidat yang "dioplos" dari berbagai kepentingan, bukan dari pemimpin yang benar-benar memiliki integritas dan kapabilitas. Hasilnya? Pemerintahan yang sulit bergerak karena harus mengakomodasi berbagai kepentingan yang bertolak belakang.
Oplosan dalam Kebijakan: Antara Keberpihakan dan Kepentingan
Tidak hanya dalam kepemimpinan, kebijakan di Indonesia juga sering kali merupakan hasil dari "oplosan" kepentingan berbagai pihak. Misalnya, kebijakan terkait energi, lingkungan, atau ekonomi sering kali tidak memiliki arah yang jelas karena harus mengakomodasi tekanan dari investor, kepentingan internasional, dan kebutuhan rakyat.
Sebagai contoh, dalam sektor energi, Indonesia berusaha mendorong penggunaan energi terbarukan, tetapi pada saat yang sama masih sangat bergantung pada batu bara. Alih-alih mengambil sikap tegas untuk beralih ke energi bersih, kebijakan yang diambil lebih bersifat kompromi—seperti subsidi batu bara yang tetap dipertahankan sambil memberi insentif bagi energi terbarukan. Ini adalah contoh kebijakan "oplosan" yang tidak punya keberanian untuk memilih jalur yang lebih berani dan progresif.
Masyarakat dan Budaya Oplosan: Menerima atau Melawan?
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah masyarakat Indonesia akan terus menerima budaya "oplosan" ini atau mulai menuntut perubahan? Dalam konteks minuman keras, tentu jawabannya jelas: regulasi harus ditegakkan lebih ketat untuk mencegah peredaran minuman oplosan yang mematikan. Tetapi dalam dunia politik dan kebijakan, jawabannya tidak sesederhana itu.
Masyarakat perlu lebih kritis dalam memilih pemimpin dan menilai kebijakan. Jangan mudah terpukau oleh janji-janji manis atau figur yang tampak menarik, tetapi perhatikan latar belakang, rekam jejak, dan siapa saja yang berada di belakang mereka. Karena pemimpin "oplosan" tidak akan membawa perubahan nyata—mereka hanya akan sibuk menyeimbangkan berbagai kepentingan tanpa fokus pada kesejahteraan rakyat.
Saatnya Mengakhiri Budaya Oplosan
Dari minuman keras hingga kepemimpinan, budaya "oplosan" telah menjadi cerminan dari banyak aspek kehidupan di Indonesia. Jika di dunia minuman oplosan dapat menyebabkan kematian, dalam politik dan kebijakan, oplosan bisa membawa ketidakpastian dan stagnasi. Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat menolak segala bentuk kepemimpinan dan kebijakan yang tidak murni, serta menuntut transparansi, akuntabilitas, dan integritas di semua lini.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang jernih, kebijakan yang bersih, dan masyarakat yang lebih sadar. Jangan biarkan "oplosan" menjadi standar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, jika dibiarkan terus-menerus, yang akan dirugikan bukan hanya segelintir orang, tetapi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 28 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi