Hendri Kampai: Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Premanisme Penguasa Selama Rezim Jokowi

1 month ago 26

BIDIK KASUS - Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah lama menjadi penyakit kronis dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Dalam era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi), berbagai praktik KKN semakin menguat dan terstruktur secara sistematis, bahkan menyerupai bentuk premanisme penguasa yang mengabaikan prinsip demokrasi dan keadilan.

Premanisme penguasa ini terlihat dari pelemahan lembaga antikorupsi, perubahan undang-undang untuk melanggengkan kekuasaan, serta pengangkatan pejabat berdasarkan loyalitas politik alih-alih kompetensi. Tak hanya itu, mega korupsi dalam berbagai badan usaha milik negara (BUMN) semakin membuktikan bahwa kekuasaan telah digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, merugikan negara hingga ribuan triliun rupiah.

1. Pelemahan KPK dan Manipulasi Hukum
Salah satu bentuk premanisme penguasa yang nyata adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejak era Jokowi, KPK mengalami degradasi signifikan yang dimulai dengan revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Revisi ini menghilangkan independensi KPK dengan menempatkannya di bawah eksekutif serta membentuk Dewan Pengawas yang membatasi kewenangan penyadapan dan penyelidikan. Akibatnya, KPK menjadi lebih lemah dalam memberantas korupsi, terutama yang melibatkan elit politik.

Pelemahan ini juga terlihat dalam berbagai kasus, seperti kegagalan KPK dalam menangkap tersangka besar yang terlibat dalam mega korupsi di BUMN. Kasus-kasus besar yang terjadi di era Jokowi, seperti skandal Asabri dan Jiwasraya, menunjukkan betapa sistem hukum telah dikooptasi untuk melindungi kepentingan penguasa.

2. Nepotisme dalam Politik: Dinasti Kekuasaan Jokowi
Nepotisme menjadi ciri khas dalam pemerintahan Jokowi. Pengangkatan anak dan menantu dalam posisi strategis di pemerintahan menunjukkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk melanggengkan kepentingan keluarga. Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, dengan mudah mendapatkan tiket menjadi Wali Kota Solo, lalu secara kontroversial melompat menjadi calon wakil presiden meski terbentur batas usia dalam konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba mengubah aturan usia capres-cawapres jelas menunjukkan adanya intervensi kekuasaan.

Tak hanya Gibran, menantu Jokowi, Bobby Nasution, juga mendapatkan posisi sebagai Wali Kota Medan, dan bahkan Gubernur, memperlihatkan pola dinasti politik yang semakin kuat. Puncaknya, munculnya Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, yang didorong menjadi pemimpin partai, memperjelas bagaimana nepotisme telah menjadi alat politik dalam mempertahankan pengaruh keluarga di kancah nasional.

3. Mega Korupsi di BUMN: Bukti Sistem yang Gagal
Selain pelemahan KPK dan praktik nepotisme, mega korupsi yang terjadi di BUMN menjadi bukti nyata betapa sistem pengelolaan negara telah dikuasai oleh oligarki dan kepentingan pribadi. Beberapa kasus korupsi terbesar di era Jokowi antara lain:

a. PT Timah: Kerugian Rp 300 Triliun
Dugaan korupsi di PT Timah melibatkan manipulasi tata niaga komoditas timah yang berlangsung sejak 2015 hingga 2022. Dengan total kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, kasus ini menjadi salah satu skandal korupsi terbesar di Indonesia. Kejahatan ini melibatkan penyewaan alat yang tidak sesuai prosedur, pembelian bijih timah ilegal, serta perusakan ekologi yang masif. Keterlibatan para pejabat dan pengusaha seperti Harvey Moeis memperlihatkan bagaimana oligarki berkolaborasi dengan pemerintah dalam menguras kekayaan negara.

"Jadi supaya masyarakat bisa memahami bagaimana kerugian Rp 300 triliun tersebut, " kata Harli pada Selasa, (31/12/2024) kepada Tempo.co. Harli menyebut nilai spesifik jumlah kerugian dalam korupsi pengelolaan tata niaga timah adalah sebesar Rp 300.003.263.938.131, 14.

b. Korupsi Pertamina: Kerugian Rp 193, 7 Triliun 
Dalam kasus Pertamina, modus yang digunakan adalah manipulasi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023. Pejabat Pertamina, bekerja sama dengan broker, melakukan berbagai praktik ilegal seperti markup harga dan manipulasi produksi kilang untuk membuka celah impor. Akibatnya, harga BBM menjadi lebih mahal, yang akhirnya berdampak pada peningkatan beban subsidi negara.

"Kemarin yang sudah disampaikan dirilis itu Rp 193, 7 triliun, itu tahun 2023. Makanya, kita sampaikan, secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, ya berarti kan bisa dihitung, berarti kemungkinan lebih, " ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, di Jakarta, sebagaimana diberitakan Kompas.com Rabu (26/2/2025).

c. Skandal Asabri: Kerugian Rp 22, 78 Triliun
Korupsi di PT Asabri menunjukkan bagaimana dana pensiun bagi prajurit TNI dan Polri dijadikan ladang perampokan oleh segelintir elite. Modus yang digunakan adalah investasi fiktif dan manipulasi laporan keuangan, yang mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 22, 78 triliun. Kasus ini semakin menunjukkan bahwa tidak ada batasan moral bagi para penguasa dan pengusaha dalam mengeksploitasi uang negara.

"Kerugian negara Rp 22, 78 triliun, ada sedikit pergeseran dari perkiraan perhitungan awal, " kata ST Burhanuddin dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dilansir Detik.com, Senin (31/5/2021).

d. Kasus Jiwasraya: Kerugian Rp 16, 8 Triliun
Jiwasraya, sebagai perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia, mengalami kebangkrutan akibat skema investasi bodong yang melibatkan berbagai perusahaan swasta dan pejabat internal. Dengan nilai kerugian mencapai Rp 16, 8 triliun, kasus ini mencerminkan betapa lemahnya pengawasan terhadap tata kelola keuangan negara.

"Terdakwa Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro mengelola 'underlying' 21 reksadana pada 13 manajer investasi diperkaya sebesar Rp 12, 157 triliun sehingga masing-masing mendapat Rp 6, 078 triliun, " kata hakim seperti dilansir Kumparan.com.

Heru Hidayat juga dinilai mendapatkan keuntungan tambahan Rp 4.650.283.375.000. Sehingga keuntungan yang Heru dapatkan totalnya Rp 10.728.783.375.000. 

Keuntungan dua terdakwa tersebut yang dihitung sebagai kerugian negara berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif BPK RI senilai Rp 16.807.283.375.000.

e. Korupsi Garuda Indonesia: Kerugian Rp 8, 8 Triliun
Kasus pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 di Garuda Indonesia memperlihatkan bagaimana korupsi merusak bisnis nasional. Proyek ini dilakukan tanpa kajian bisnis yang matang, hanya untuk kepentingan segelintir orang yang mengambil keuntungan dari pengadaan barang yang tidak sesuai kebutuhan.

"Akibat proses pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 yang dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN dan prinsip business judgment rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar USD 609.814.504, 00 (enam ratus sembilan juta delapan ratus empat belas ribu lima ratus empat dollar Amerika) atau nilai ekuivalen Rp. 8.819.747.171.352, 00 (delapan triliun delapan ratus sembilan belas miliar tujuh ratus empat puluh tujuh juta seratus tujuh puluh satu ribu tiga ratus lima puluh dua rupiah), " ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana dilansir CNBCIndonesia.com (22/06/2022).

4. Premanisme Penguasa dan Penyelenggaraan Pemilu
Selain korupsi dan nepotisme, pemanfaatan aparat negara untuk memenangkan pemilu dan pilkada juga merupakan bentuk premanisme penguasa yang mencederai demokrasi. Pemanfaatan kepolisian, kejaksaan, hingga lembaga-lembaga negara dalam mengamankan kepentingan politik kelompok tertentu telah memperlihatkan betapa kekuasaan digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dominasi. Demokrasi yang seharusnya berdasarkan asas keadilan dan transparansi justru berubah menjadi ajang permainan bagi segelintir elite.

“Sikap intimidasi dan ancaman (premanisme) tidak seharusnya terjadi pada proses pemilu 2024, karena hal ini mencederai demokrasi pada pemilu 2024, ” papar Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) sebagaimana diberitakan oleh MediaIndonesia.com, Minggu (10/03/2024).

Oligarki dan Korupsi sebagai Ancaman Bangsa
Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mengakar dalam pemerintahan Jokowi telah membawa Indonesia ke dalam era oligarki yang semakin mengkhawatirkan. Kelemahan hukum, nepotisme politik, serta mega korupsi di berbagai institusi negara menunjukkan bahwa pemerintahan lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kesejahteraan rakyat. Jika tidak ada perubahan yang mendasar, Indonesia akan terus berada dalam cengkeraman premanisme penguasa yang hanya menguntungkan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Oleh karena itu, penting bagi rakyat untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan dan menuntut transparansi serta akuntabilitas dari para pemimpin. Reformasi sistem hukum, penguatan lembaga antikorupsi, serta penolakan terhadap nepotisme harus menjadi agenda utama dalam memperbaiki kondisi negara ke depan.

Jakarta, 13 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |