PEMERINTAHAN - Dalam sejarah politik dunia, kudeta sering diasosiasikan dengan penggulingan kekuasaan secara paksa, dengan senjata dan kekerasan. Namun, ada jenis kudeta lain yang lebih halus, lebih terselubung, dan lebih berbahaya: kudeta konstitusional.
Kudeta ini tidak memerlukan peluru, tank, atau militer yang berkhianat. Sebaliknya, ia terjadi melalui mekanisme hukum, dengan mengubah aturan main demokrasi hingga pemegang kekuasaan tidak dapat ditandingi dan kekuasaan bisa diwariskan dari generasi ke generasi.
Mengubah UUD 1945: Pintu Masuk Menuju Otoritarianisme?
Indonesia telah beberapa kali mengamandemen UUD 1945 untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan memperkuat demokrasi. Namun, belakangan ini, muncul upaya untuk kembali mengutak-atik konstitusi dengan dalih stabilitas dan kesinambungan kepemimpinan.
Salah satu ide yang terus dihembuskan adalah perpanjangan masa jabatan presiden, baik dengan menambah periode menjadi tiga kali atau menghapus batasan masa jabatan sepenuhnya. Ini berbahaya, karena salah satu ciri utama demokrasi adalah sirkulasi kekuasaan yang sehat.
Jika batasan masa jabatan dilonggarkan, maka tidak menutup kemungkinan presiden dapat berkuasa seumur hidup, apalagi jika dibantu oleh sistem pemilu yang dikendalikan. Bukankah ini mirip dengan sistem politik Korea Utara, di mana pemimpin bisa berkuasa terus-menerus tanpa ada oposisi yang mampu menantangnya?
Selain itu, ada usulan untuk mengubah sistem pemilihan presiden menjadi tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan melalui MPR. Ini adalah kemunduran yang sangat nyata. Jika pemilihan dikembalikan ke tangan segelintir elite, maka peluang rakyat untuk menentukan pemimpinnya sendiri akan sirna.
Melemahkan KPK: Menjamin Kekuasaan Oligarki?
Undang-Undang KPK telah direvisi dengan dalih reformasi kelembagaan, tetapi kenyataannya malah membuat KPK tidak lagi independen. KPK yang dulu menjadi lembaga pemberantas korupsi paling ditakuti kini justru terlihat lebih jinak terhadap kasus-kasus besar yang melibatkan elite politik dan oligarki ekonomi.
Salah satu efek terbesar dari revisi UU KPK adalah berubahnya status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Ini artinya mereka lebih rentan terhadap intervensi kekuasaan eksekutif. Bukannya memberantas korupsi dengan taring tajam, KPK justru semakin selektif dalam menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh tersentuh hukum.
Jika pemberantasan korupsi dilemahkan, maka oligarki akan semakin merajalela. Para pemilik modal dan keluarga elite politik bisa semakin bebas menguasai sumber daya negara tanpa takut tersandung hukum. Hasilnya? Demokrasi berubah menjadi plutokrasi, di mana kekuasaan hanya berputar di tangan segelintir orang kaya dan keluarga elite politik.
UU Kejaksaan dan UU TNI: Kontrol Penuh Terhadap Penegakan Hukum dan Militer?
Perubahan dalam UU Kejaksaan dan UU TNI juga menjadi tanda bahaya lain. Jika ada upaya untuk mengontrol penuh institusi hukum dan militer, maka kekuasaan akan semakin terkonsolidasi.
Bayangkan jika aparat penegak hukum tidak lagi netral, tetapi bekerja hanya untuk melindungi kepentingan penguasa. Kejaksaan bisa diarahkan untuk menghukum lawan-lawan politik dan membiarkan sekutu penguasa lolos dari jerat hukum.
Sementara itu, TNI yang seharusnya berada di bawah kendali sipil bisa diperalat untuk mendukung dinasti politik yang sedang berkuasa. Jika terjadi ketidakpuasan rakyat, militer bisa dijadikan alat represif seperti di negara-negara otoriter. Ini persis seperti yang terjadi di Korea Utara, di mana militer sepenuhnya digunakan untuk menopang rezim keluarga Kim.
Indonesia Menuju Korea Utara Versi Oligarki dan Dinasti Politik?
Korea Utara dikenal sebagai negara dengan sistem totalitarian, di mana kekuasaan dikendalikan oleh satu keluarga secara turun-temurun. Tidak ada kebebasan politik, tidak ada oposisi, dan rakyat harus tunduk sepenuhnya kepada penguasa.
Jika Indonesia terus mengarah pada pelemahan institusi demokrasi, pembungkaman oposisi, dan konsolidasi kekuasaan oleh segelintir elite, maka kita tidak jauh berbeda dengan Korea Utara. Bedanya, kita akan menjadi versi oligarki dan dinasti politik di mana bukan hanya satu keluarga yang menguasai, tetapi beberapa keluarga elite yang saling berbagi kekuasaan.
Dalam sistem seperti ini, partisipasi rakyat menjadi ilusi belaka. Pemilu tetap ada, tetapi hasilnya sudah bisa ditebak. Kritik tetap boleh dilakukan, tetapi hanya sebatas kosmetik karena tidak akan berdampak apa-apa.
Rakyat Harus Waspada!
Kudeta konstitusional bukanlah teori konspirasi, tetapi sesuatu yang nyata dan sudah mulai terjadi. Jika rakyat tidak waspada, maka perubahan konstitusi dan undang-undang yang melemahkan demokrasi akan terus berlanjut.
Jika demokrasi mati, maka tidak ada jaminan bahwa Indonesia tidak akan berubah menjadi negara yang dikuasai oleh segelintir oligarki dan dinasti politik, seperti Korea Utara dalam versi yang lebih halus.
Apakah kita akan membiarkan hal ini terjadi? Atau kita akan berdiri melawan dan mempertahankan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah? Jawabannya ada pada kita semua.
Jakarta, 15 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi