POLITIK - Dalam setiap pemilu, rakyat memiliki hak untuk menentukan masa depan bangsa dengan memilih pemimpin yang dianggap mampu membawa perubahan dan kemajuan. Namun, apa jadinya jika pemimpin yang terpilih justru terbukti korup? Bukankah itu mencerminkan kualitas para pemilihnya juga?
Sebuah pemilu yang dibangun di atas fondasi kecurangan, suap, dan politik uang sejatinya bukanlah kemenangan demokrasi, melainkan awal dari kehancuran nilai-nilai bangsa.
Jika seorang pemimpin yang korup dapat berkuasa, maka ada kemungkinan besar bahwa banyak pemilih yang turut andil dalam menjual suara mereka demi kepentingan sesaat. Dengan demikian, rakyat yang menerima suap sebenarnya sedang menggali lubang bagi dirinya sendiri: memilih pemimpin korup adalah hukuman bagi masyarakat yang mengkhianati demokrasi.
Politik Uang: Menghancurkan Fondasi Demokrasi
Salah satu penyakit kronis dalam sistem demokrasi adalah politik uang (money politics). Fenomena ini bukan sekadar isu di Indonesia, tetapi juga terjadi di berbagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Politik uang adalah strategi jahat yang dilakukan oleh kandidat untuk memastikan kemenangan, bukan melalui gagasan dan program kerja, melainkan dengan membeli suara rakyat.
Dalam situasi ini, pemilih tidak memilih berdasarkan integritas, kompetensi, atau rekam jejak kandidat, melainkan berdasarkan siapa yang memberikan uang atau barang paling banyak.
Politik uang merusak tatanan demokrasi karena melahirkan pemimpin yang hanya berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok, bukan kepentingan rakyat. Seorang pemimpin yang naik melalui jalur suap akan merasa memiliki "utang politik" kepada para cukong dan pemodal yang membiayai kampanyenya. Akibatnya, setelah menjabat, fokusnya bukan lagi pada kesejahteraan rakyat, melainkan pada bagaimana mengembalikan "modal politik" yang sudah dikeluarkan selama kampanye. Maka, tidak heran jika kasus korupsi di Indonesia kerap melibatkan kepala daerah, anggota legislatif, hingga pejabat tinggi negara. Mereka tidak lagi bekerja untuk rakyat, tetapi untuk membayar investasi politik mereka.
Pemilih yang Menerima Suap: Penghianat Demokrasi
Sebuah pertanyaan mendasar muncul: jika rakyat menginginkan pemimpin yang jujur dan bersih, mengapa mereka tetap menerima uang suap? Jawabannya beragam, mulai dari alasan ekonomi hingga ketidaktahuan akan dampak jangka panjangnya. Namun, satu hal yang pasti: rakyat yang menerima suap turut serta dalam merusak sistem politik dan demokrasi di negara ini.
Bagi sebagian orang, menerima uang dari calon pemimpin mungkin dianggap sebagai "rezeki nomplok" atau sekadar kompensasi atas janji-janji kosong yang sering tidak ditepati. Namun, perlu disadari bahwa menerima suap berarti ikut serta dalam proses kecurangan yang melanggengkan kepemimpinan korup.
Ketika rakyat menggadaikan suaranya demi sejumlah uang, mereka sebenarnya sedang menjual hak mereka sendiri untuk mendapatkan pemimpin yang baik dan bertanggung jawab.
Jika rakyat yang menerima suap berpikir bahwa uang yang mereka dapatkan adalah keuntungan, kenyataannya justru sebaliknya: uang itu adalah harga dari lima tahun penderitaan akibat kebijakan buruk, korupsi, dan penyelewengan anggaran yang dilakukan oleh pemimpin yang mereka pilih.
Azab bagi Pemilih yang Menerima Suap
Ada pepatah yang mengatakan, "Sebuah bangsa mendapatkan pemimpin yang layak bagi mereka." Jika pemimpin yang terpilih adalah seorang koruptor, maka itu bisa menjadi refleksi dari kualitas pemilihnya. Ketika rakyat memilih berdasarkan uang suap, mereka tidak hanya memilih pemimpin yang korup, tetapi juga memilih penderitaan mereka sendiri.
Azab bagi rakyat yang menerima suap tidak datang dalam bentuk hukuman langsung, tetapi melalui kebijakan yang menghancurkan kesejahteraan mereka sendiri. Infrastruktur rusak, fasilitas kesehatan minim, pendidikan berkualitas rendah, harga kebutuhan pokok melambung, dan tingkat pengangguran meningkat—semua ini adalah dampak dari pemimpin korup yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat.
Tidak ada pemimpin yang bisa korupsi sendirian. Korupsi adalah hasil dari sistem yang membusuk, dan sistem itu dibangun dari praktik politik uang yang melibatkan pemilih itu sendiri.
Jika rakyat ingin hidup sejahtera, mereka harus berhenti menerima suap. Mengubah bangsa tidak bisa dilakukan hanya dengan mengutuk pemimpin yang korup, tetapi juga dengan memperbaiki mentalitas pemilih agar tidak lagi menjadi bagian dari rantai korupsi yang menghancurkan.
Solusi: Kesadaran Kolektif untuk Memerangi Politik Uang
Perubahan tidak akan terjadi jika rakyat masih berpikir bahwa suara mereka bisa dibeli. Diperlukan kesadaran kolektif untuk menolak politik uang dan memilih pemimpin berdasarkan integritas serta kapabilitasnya. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
1. Edukasi Politik – Rakyat harus diberikan pemahaman bahwa menerima suap adalah tindakan yang merusak masa depan mereka sendiri. Pendidikan politik harus ditanamkan sejak dini agar masyarakat sadar akan pentingnya pemilu yang jujur dan adil.
2. Penegakan Hukum yang Tegas – Perlu ada sanksi yang berat bagi kandidat yang melakukan politik uang, serta bagi pemilih yang menerima suap. Tanpa hukum yang tegas, praktik ini akan terus berulang.
3. Gerakan Moral di Masyarakat – Harus ada inisiatif dari masyarakat untuk menolak politik uang. Jika semua pemilih menolak suap, maka kandidat yang korup tidak akan memiliki cara untuk membeli suara.
4. Peran Media dalam Menyuarakan Kebenaran – Media memiliki peran penting dalam mengungkap praktik politik uang dan menyebarkan informasi tentang pentingnya memilih pemimpin yang bersih.
5. Penguatan Lembaga Pengawas Pemilu – Bawaslu dan KPK harus lebih aktif dalam mengawasi proses pemilu, bukan hanya menindak pelaku politik uang, tetapi juga membangun sistem pencegahan yang efektif.
Kesimpulan
Korupsi dalam pemerintahan tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan hasil dari proses politik yang cacat sejak awal. Jika rakyat ingin pemimpin yang bersih, mereka harus mulai dari diri sendiri dengan tidak menjual suara mereka. Pemimpin korup adalah cerminan dari pemilih yang mengabaikan prinsip kejujuran dan menerima suap dalam pemilu.
Jika rakyat masih mau menerima uang sogokan, maka mereka harus siap menerima konsekuensi berupa kemiskinan, ketidakadilan, dan penderitaan selama lima tahun ke depan. Perubahan hanya bisa terjadi jika masyarakat berani berkata "tidak" pada politik uang dan memilih pemimpin berdasarkan hati nurani, bukan berdasarkan amplop berisi uang haram.
Jakarta, 10 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi