PANGKEP SULSEL— Kekayaan sumber daya alam tidak otomatis menghadirkan kesejahteraan jika tidak dikelola dengan paradigma yang tepat. Hal itu ditekankan Ketua DPD Jurnalis Nasional Indonesia (JNI) Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) sekaligus Pemimpin Redaksi Media Indonesia Satu Perwakilan Pangkep, Herman Djide, saat sesi diskusi publik santai di Warkop Soreang Minasatene, Sabtu (1/11/2025).
Herman menyoroti fenomena yang kerap terjadi di berbagai desa dan kelurahan di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Menurutnya, masih banyak wilayah yang memiliki potensi alam luar biasa, namun masyarakatnya hidup dalam garis kemiskinan.
“Ini adalah paradoks yang harus kita pecahkan. Sumber dayanya melimpah, masyarakatnya bekerja keras, tetapi kesejahteraan belum merata. Itu berarti ada masalah pada sistem pengelolaan dan arah kebijakan, ” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa persoalan utama bukan pada ketersediaan sumber daya, melainkan pada pola berpikir dan mekanisme pemanfaatan. Ketika kebijakan tidak berbasis keberlanjutan dan tanpa keterlibatan masyarakat, maka yang muncul adalah konflik, kerusakan lingkungan, dan kemiskinan yang menurun lintas generasi.
“Sumber daya alam tidak boleh dipandang sekadar angka produksi atau komoditas mentah. Ini soal keberlanjutan kehidupan dan masa depan generasi kita, ” tegas Herman.
Herman menilai bahwa solusi untuk keluar dari paradoks tersebut bukan hanya regulasi atau bantuan pemerintah yang bersifat sementara. Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma pembangunan dari pola ekstraktif menuju pengolahan bernilai tambah tinggi di tingkat desa dan kelurahan.
“Desa dan kelurahan harus menjadi ruang industrialisasi kecil berbasis potensi lokal. Mulai dari hasil pertanian, laut, hingga sumber daya alam lainnya—semua harus diarahkan pada hilirisasi, ” tegasnya.
Selain itu, Herman menekankan peran koperasi produktif yang kuat sebagai sokoguru ekonomi rakyat. Menurutnya, koperasi harus kembali pada ruh sejatinya sebagai lembaga produksi, bukan sekadar simpan pinjam.
“Selain teknologi dan penguatan kapasitas petani serta nelayan, riset andalan desa sangat penting. Kita butuh inovasi sehingga nilai tambah tetap di wilayah kita, bukan keluar daerah, ” jelasnya.
Herman juga menilai kepemimpinan lokal memiliki peran sentral dalam menciptakan transformasi tersebut. Pemimpin desa dan kelurahan, katanya, harus visioner dan berani mengambil langkah strategis untuk ekonomi rakyat.
“Pemimpin yang baik bukan hanya yang pandai bicara, tetapi yang mampu menggerakkan ekonomi warga, membangun kemitraan yang adil, dan menolak model pembangunan yang hanya menguntungkan pihak luar, ” tuturnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa kolaborasi multipihak antara pemerintah, akademisi, masyarakat, dan dunia usaha adalah faktor kunci pembangunan inklusif. Tanpa itu, pembangunan akan bersifat seremonial dan tidak menyentuh akar persoalan.
“Kolaborasi ini bukan pilihan, melainkan keharusan. Kita tidak bisa lagi berjalan sendiri-sendiri, ” katanya.
Herman juga menegaskan bahwa desa dan kelurahan kaya sumber daya sesungguhnya sedang diuji bukan oleh kekurangan, tetapi oleh kemampuan mengelola kelebihan. Menurutnya, penguasaan nilai tambah harus menjadi agenda utama.
“Kita harus memegang kendali di rantai produksi, bukan hanya menjadi penonton. Nilai tambah adalah segalanya, ” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Herman mengingatkan bahwa kekayaan alam adalah amanah besar. Jika tidak dikelola dengan baik, maka potensi itu bisa berubah menjadi ironi sejarah.
“Sudah saatnya kita buktikan bahwa tanah yang subur dan laut yang kaya melahirkan masyarakat yang sejahtera. Paradoks ini harus kita akhiri bersama, ” pungkasnya.( Syaharuddin)
















































