TEKNO - Perkembangan transformasi digital di Indonesia telah memasuki “mode” akselerasi cepat. Jakarta cukup berbeda; laju implementasi transformasinya berjalan lebih cepat dibandingkan dengan provinsi lainnya. Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) memberikan skor tertinggi bagi warga Jakarta (56, 97), sekaligus memberikan “predikat” sebagai model wilayah inklusivitas digital terbaik di Indonesia. Capaian Ini membuktikan bahwa sejak awal eranya digital, warga Jakarta telah memaksimalkan pemanfaatan digitalisasi teknologi informasi sebagai “ruang” untuk berbagi akses. Bagi warga Jakarta saat ini, digitalisasi bukanlah sekadar persoalan teknologi atau jaringan, melainkan pendalaman filosofi tentang bagaimana seluruh masyarakat seharusnya bisa terhubung.
Meskipun prestasi tersebut mencerminkan kemajuan transformasi yang mengesankan, namun sistem transformasi digital di Jakarta masih bersifat silo (berdiri sendiri-sendiri), tanpa integrasi dan interkoneksi maksimal—sehingga realitas kesenjangan digital seolah sering terlupakan di balik sebuah narasi sukses.
Sistem pemerintahan yang belum sepenuhnya terintegrasi secara utuh justru memperlebar jurang ini, di mana jutaan warga di 30.509 RT, 2.747 RW serta 267 kelurahan di bawah 44 kecamatan masih menghadapi akses informasi dan layanan yang terfragmentasi, terlepas dari lokasi urban maupun perifer. Fenomena ini bukan hanya soal infrastruktur, melainkan kegagalan struktural yang menghambat filosofi konektivitas inklusif, di mana inisiatif di tingkat bawah “kerap” terisolasi dari kebijakan di level atas, menyebabkan inefisiensi dan ketidakadilan yang merata di seluruh hierarki administratif.
Desain transformasi digital di Jakarta wajib bertransformasi penuh berbasis pada “bottom-up connectivity” sebagai prinsip yang fundamental, di mana proses integrasi seharusnya dapat dimulai secara bertahap dari tingkatan “grassroots”. Dengan demikian, kelurahan paling terpencil sekalipun tidak lagi bergantung pada sinyal dari pusat, melainkan mampu menjadi pelaku digital yang mandiri dan berkontribusi aktif ke ekosistem keseluruhan. Penciptaan platform data terpadu (terintegrasi dan terinterkoneksi) “memungkinkan” untuk menyediakan alur informasi dua arah, dari RT hingga Gubernur. Pendekatan ini bukan hanya korektif, tetapi transformatif, sehingga memastikan bahwa inklusivitas bukan lagi sekadar label, melainkan realitas operasional yang berkelanjutan.
Dalam rangka mewujudkan prinsip tersebut secara optimal, penting untuk mengetahui bahwa; hal yang paling fundamental dari sebuah mahakarya transformasi digital adalah "memahami" struktur organisasi wilayah secara lebih mendalam. Jika itu adalah Jakarta, maka sistem integrasi dan interkoneksi wajib mencakup seluruh 44 kecamatan, 267 kelurahan, 2.747 RW, serta lebih dari 30.509 RT—ditambah masing-masing SKPD di wilayah administratif hingga langsung ke para walikota administrasi (termasuk Bupati Kepulauan Seribu) dan puncaknya adalah Gubernur DKI Jakarta.
Inilah esensi berbasis "bottom-up connectivity", di mana proses integrasi dimulai secara bertahap dari tingkat grassroots. Bayangkan seluruh laporan warga dan perangkat kerja RT/RW yang mengalir real-time ke dashboard Gubernur hingga mencapai kelengkapan total, memastikan setiap elemen administratif saling terkait dalam jaringan digital yang resilien dan anti-silo. Pendekatan ini tidak hanya mengatasi fragmentasi saat ini, tetapi juga membangun ekosistem yang adaptif, di mana inklusivitas menjadi fondasi operasional yang tak tergoyahkan. Jika ini dapat diwujudkan maka akan mendorong Provinsi Jakarta sebagai role model blueprint nsional untuk transformasi digital yang berkelanjutan.
Dukungan finansial yang kokoh semakin memperkuat fondasi tersebut, dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jakarta yang “kuat” tentunya akan memberikan ruang anggaran yang luas untuk mempercepat transformasi tanpa mengorbankan stabilitas fiskal. Oleh karena itu, proses integrasi dan interkoneksi pada lebih dari 33.000 titik publik yang mencakup 30.509 RT, 2.747 RW, 267 kelurahan, 44 kecamatan, 317 SKPD mulai dari tingkat “grassroots” hingga “provincial” sangat memungkinkan dan objektif untuk dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan.
Strategi Digitalisasi yang terintegrasi dan terinterkoneksi di Jakarta merupakan mahakarya transformasi yang holistik, di mana tahap perbaikan fundamental menjadi kunci utama untuk mengatasi “silo-system” dan mewujudkan konektivitas yang inklusif sebagaimana yang tertuang di dalam amanat RPJMD DKI Jakarta 2025-2029.
Strategi ini dapat dirancang secara berjenjang untuk memastikan alur data dua arah dari “grassroots” hingga “provincial” melalui empat tahapan sistematis, seperti; (1) tahapan perencanaan untuk mengidentifikasi kebutuhan data di setiap titik publik guna membangun baseline yang akurat dan mencegah duplikasi sumber daya sejak dini, (2) tahapan “pilot testing” di wilayah prioritas untuk menguji platform data terpadu dan memvalidasi kelayakan teknis, serta mengumpulkan umpan balik langsung dari komunitas sebelum dilakukan ekspansi lebih luas, (3) tahapan scaling dan integrasi penuh untuk melakukan “rollout” ke seluruh hierarki administratif dengan alur real-time sehingga memastikan konektivitas seamless yang anti-fragmentasi; dan (4) tahapan evaluasi berkala untuk mengadaptasi dan memantau dinamika eksternal seperti disrupsi teknologi agar strategi ini tetap berjalan dinamis dan relevan.
Implementasi strategi ini dapat dirancang secara berkelanjutan dalam 4 tahun ke depan (2026-2029) melalui pengalokasian sekitar 10-15 persen anggaran khusus untuk digitalisasi yang bersumber dari PAD.
Alokasi tersebut bukan hanya komitmen fiskal, melainkan strategi investasi yang dirancang untuk menghasilkan pendapatan komersial secara berkelanjutan dan memastikan; bahwa investasi tersebut tidak menjadi sia-sia melainkan memiliki efek multiplier ekonomi. Caranya dapat dimulai dari efisiensi operasional: integrasi platform data terpadu secara otomatis akan mengurangi biaya administrasi hingga 20-30 persen melalui otomatisasi proses seperti pelaporan warga real-time, yang sebelumnya bergantung pada manual dan duplikasi. Penghematan ini langsung otomatis menambah PAD melalui penghematan pengeluaran rutin. Selanjutnya, revenue streams baru muncul dari monetisasi layanan digital, seperti e-taxing yang meningkatkan penerimaan pajak daerah hingga 15 persen via kemudahan pembayaran online, atau kemitraan Public-Private Partnership (PPP) dengan swasta untuk iklan targeted di aplikasi JAKI dan data analytics untuk UMKM, yang menghasilkan fee lisensi dan royalti. Proyeksi pengembalian investasi bisa mencapai hingga 25 persen per tahun, berkat penghematan biaya operasional, pendapatan pajak baru, serta daya tarik investor asing tambahan ke Jakarta.
Di tengah potensi ROI yang menjanjikan, prioritas utama yang tak kalah penting adalah tentang “keberanian” untuk memilih paten teknologi hasil karya anak bangsa melalui perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) yang kuat, daripada mengandalkan komersialisasi paten asing yang berisiko menciptakan ketergantungan jangka panjang. Alasan objektifnya jelas: paten HAKI lokal mendorong kemandirian inovasi nasional, seperti yang terbukti dalam pertumbuhan 10 unicorn teknologi Indonesia yang lahir dari ekosistem paten domestik, menghemat devisa impor hingga miliaran rupiah sambil menciptakan ribuan lapangan kerja di sektor TIK.
Lebih dari itu, HAKI karya anak bangsa akan menjamin keamanan data yang sesuai dengan kebijakan regulasi nasional serta menghindari resiko lock-in vendor asing yang sering kali mahal dalam maintenance dan kurang adaptif dengan kebutuhan lokal. Dari berbagai studi telah dibuktikan bahwa; perlindungan paten domestik akan meningkatkan kontribusi sektor digital terhadap PDB hingga 15-20 persen tanpa mengorbankan kedaulatan. Dengan demikian, pilihan ini bukan hanya etis, tapi juga strategis untuk membangun ekosistem yang berkelanjutan.
Kami percaya, bahwa pembangunan akses digital harus dibangun dari “bawah” melalui rekayasa ulang rantai data yang sirkuler dan kolaboratif, di mana setiap elemen dari level RT hingga gubernur akan berbagi nilai secara adil dan menjamin keadilan digital yang berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk UMKM dan warga marginal yang sering terpinggirkan. Seperti orang Betawi bilang, "gede di luar, kosong di dalem"—jangan sampai digitalisasi Jakarta hanya jadi monumen megah yang berdiri tanpa jiwa. Ini bukan sekadar inisiatif sementara, melainkan fondasi jangka panjang yang akan mengubah inklusivitas digital menjadi realitas operasional yang kokoh, adaptif, dan berdampak global bagi Jakarta.
Ayo Jakarta, saatnya berkolaborasi untuk menciptakan transformasi digital seutuhnya di Jakarta.
Jakarta, 03/11/2025
Ir. Rijalul Fikri adalah Direktur Eksekutif PT. Jurnalis Indonesia Satu.















































