Jejak MoU 2006 Ungkap Akar Masalah Lahan Kompensasi PLTA Karebbe di Luwu Timur

1 month ago 19

LUWU TIMUR — Polemik lahan kompensasi proyek PLTA Karebbe kembali menyeruak setelah terungkap bahwa area tersebut kini disewakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Timur kepada PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP).

Di balik kisruh yang mengemuka itu, tersimpan jejak lama berupa Nota Kesepakatan (MoU) antara Pemkab Luwu Timur dan PT International Nickel Indonesia Tbk (INCO, kini PT Vale Indonesia Tbk) yang ditandatangani hampir dua dekade lalu, tepatnya pada tahun 2006.

MoU tersebut menjadi dasar penyediaan lahan kompensasi untuk proyek PLTA Karebbe—sebuah proyek strategis yang digarap PT INCO dalam rangka izin pinjam pakai kawasan hutan.

Namun dua puluh tahun berselang, lahan yang seharusnya menjadi kompensasi kehutanan itu justru memunculkan tanda tanya besar soal status, kepemilikan, dan pengelolaannya.

Jejak dari Kesepakatan 2006

Dalam dokumen MoU yang ditandatangani Bupati Luwu Timur saat itu, H. Andi Hatta Marakarma, dan Presiden Direktur PT INCO, Arif Siregar, disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Luwu Timur bersedia menunjuk, merekomendasikan, serta membantu perolehan lahan Areal Penggunaan Lain (APL) untuk kebutuhan kompensasi PLTA Karebbe.

Lahan yang dimaksud seluas 390 hektare, dan seluruh biaya survei, pengukuran, tata batas, reklamasi, reboisasi, serta pemeliharaan menjadi tanggung jawab penuh PT INCO.

Sebagai bentuk kontribusi sosial, perusahaan tambang nikel itu berkomitmen memberikan bantuan tenaga listrik sebesar 3 MW dari PLTA Karebbe setelah beroperasi, serta pendanaan pembangunan stadion olahraga untuk Kabupaten Luwu Timur.

Kesepakatan ini turut disaksikan oleh Ketua DPRD Luwu Timur kala itu, Andi Hasan Opu To Hatta, dan menjadi dasar hukum penyediaan lahan kompensasi untuk kepentingan lingkungan sebagaimana diatur oleh Kementerian Kehutanan.

Dari Lahan Kompensasi ke Aset Sewa

Masalah muncul ketika sebagian lahan kompensasi tersebut kini masuk dalam rencana penyewaan kepada PT IHIP, perusahaan asal Tiongkok yang tengah menyiapkan kawasan industri nikel di Malili.

Meski kawasan industri itu belum dibangun, Pemkab Luwu Timur disebut telah menandatangani kerja sama awal terkait penggunaan lahan kompensasi sebagai bagian dari area rencana investasi.

Kondisi ini memicu reaksi keras dari DPRD Luwu Timur.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), Kamis (30/10/2025), sejumlah anggota dewan menilai kebijakan sewa tersebut berpotensi melanggar ketentuan hukum dan prinsip pengelolaan aset publik.

“Ini bukan lahan kosong biasa. Itu lahan kompensasi kehutanan yang sudah diatur dalam MoU antara Pemkab dan PT INCO tahun 2006. Jadi, dasar hukumnya apa sampai bisa disewakan ke IHIP?” tegas HM Siddiq BM, Anggota DPRD Luwu Timur.

Lahan Sudah Dihuni Warga Puluhan Tahun

Selain status hukumnya yang kabur, kondisi sosial di atas lahan kompensasi kini juga menjadi sorotan. Berdasarkan penelusuran lapangan, sebagian wilayah tersebut telah lama dihuni masyarakat—bahkan sejak sebelum MoU 2006 ditandatangani.

Mereka telah mendirikan rumah permanen, membangun masjid, serta membuka lahan kebun untuk menghidupi keluarga.

Keberadaan warga ini memperumit situasi, karena secara administratif, kawasan itu masih tercatat sebagai APL yang diklaim sebagai aset daerah.

“Kami sudah tinggal di sini lebih dari 20 tahun. Kami tidak tahu kalau ini katanya lahan kompensasi. Kami hanya tahu tanah ini dulunya kosong dan kami garap, ” ujar seorang warga di Desa Harapan, Kecamatan Malili.

Masyarakat Terbelah, Ketegangan Meningkat

Kondisi di lapangan kini justru membelah masyarakat. Warga yang sejak lama menempati lahan kompensasi merasa haknya terancam, sementara sebagian lainnya mendukung langkah pemerintah dengan alasan investasi dan lapangan kerja.

Ketegangan sosial ini, kata Siddiq, makin diperkeruh oleh absennya transparansi pemerintah dalam menjelaskan dasar hukum serta proses pengukuran dan penetapan batas lahan.

“Sekarang warga diadu sesama warga. Ada yang demo, ada yang menolak. Padahal yang paling mendasar belum pernah dijawab: siapa pemilik sah tanah kompensasi Dam Karebbe ini?” tutur Siddiq dengan nada tinggi.

Situasi ini berpotensi berkembang menjadi konflik sosial terbuka jika pemerintah tidak segera membuka dokumen resmi dan menjelaskan status hukum lahan secara transparan kepada publik.

Status Hukum yang Samar

Berdasarkan ketentuan dalam MoU, lahan kompensasi Karebbe adalah Tanah Negara berstatus APL, yang pengelolaannya berada di bawah kewenangan Pemkab Luwu Timur untuk kemudian diajukan ke Departemen Kehutanan sebagai lahan pengganti kawasan hutan.

Artinya, setelah diserahkan, lahan itu tidak lagi menjadi aset daerah, melainkan bagian dari kawasan kehutanan nasional. Jika benar demikian, maka penyewaan kepada pihak swasta tanpa mekanisme izin dari pemerintah pusat jelas menyalahi aturan.

“Kalau statusnya sudah kompensasi kehutanan, berarti tidak bisa disewakan lagi. Itu sudah masuk dalam wilayah pengelolaan negara, ” jelas seorang akademisi hukum tata negara dari Makassar yang dimintai tanggapan. (Tim Liputan)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |