JAKARTA - Sungguh ironis, harapan akan keadilan sempat membuncah ketika lima terpidana kasus korupsi pemanfaatan lahan seluas 1.500 hektar di Desa Kotawaringin, Kecamatan Puding Besar, Kabupaten Bangka, divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pangkalpinang pada Selasa (29/4/2025). Namun, euforia itu tak berlangsung lama.
Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia telah membatalkan putusan bebas tersebut. Pengabulan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Babel dan Kejaksaan Negeri Pangkalpinang membuktikan bahwa perjalanan mencari kebenaran hukum masih panjang dan penuh liku.
Berdasarkan informasi dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) MA RI pada Sabtu (1/11/2025), keputusan kasasi terhadap kelima terpidana telah dikeluarkan. Meski demikian, pihak Kejati maupun Kejari Pangkalpinang mengaku belum menerima salinan resmi putusan tersebut. Hal ini menyebabkan eksekusi terhadap putusan MA terhadap Ari Setioko, Bambang Wijaya, Dicky Markam, Marwan, dan Ricky Nawawi belum dapat dilaksanakan.
Yang menarik perhatian, putusan kasasi MA RI yang dijatuhkan kepada kelima terpidana ini ternyata berbeda-beda dan bahkan lebih ringan dari tuntutan awal JPU sebelum adanya putusan bebas. Ini menunjukkan adanya pertimbangan mendalam dari majelis hakim agung dalam meninjau kembali kasus yang telah bergulir.
Untuk terpidana Ari Setioko, putusan kasasi menyatakan ia terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 dakwaan Kesatu. Ia dijatuhi pidana penjara selama 8 tahun, denda Rp400 juta dengan subsider kurungan 4 bulan, serta uang pengganti sebesar Rp3.750.000.000 yang jika tidak dibayar akan diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun. Angka ini tentu berbeda jauh dari tuntutan JPU yang sempat menuntutnya 16 tahun penjara.
Sementara itu, terpidana Bambang Wijaya dinyatakan terbukti melanggar pasal 3 dakwaan subsidair. Ia divonis pidana penjara selama 5 tahun, denda Rp300 juta dengan subsider kurungan penjara selama 3 bulan. (PERS)















































