Kekejaman Tanpa Batas: OPM Serang Rumah Ibadah di Yahukimo, Tokoh Agama dan Adat Mengecam Keras

1 month ago 22

YAHUKIMO - Aksi brutal kembali dilakukan oleh kelompok bersenjata dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kali ini, sasaran kekerasan mereka bukan aparat negara, melainkan rumah ibadah yang menjadi simbol perdamaian dan spiritualitas masyarakat Yahukimo. Tindakan tersebut diduga dilakukan oleh Kodap XVI Yahukimo, kelompok separatis bersenjata yang dipimpin Brigjen Elkius Kobak dan Mayor Kopitua Heluka.

Peristiwa ini terjadi di Distrik Dekai, Kabupaten Yahukimo, pada Senin (28/7/2025), dan langsung memantik kemarahan dan keprihatinan mendalam dari para tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat luas. Serangan terhadap tempat suci dianggap bukan hanya sebagai pelanggaran hukum dan norma sosial, melainkan juga sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai iman dan kemanusiaan.

Tokoh Gereja: Ini Adalah Penghinaan Terhadap Iman

Pendeta Theofelus Kobak, tokoh agama berpengaruh di Yahukimo, mengecam keras serangan yang menyasar rumah ibadah. Baginya, aksi tersebut tidak hanya menyerang bangunan, tetapi juga menghancurkan spiritualitas dan kedamaian batin masyarakat.

“Rumah ibadah adalah tempat sakral, simbol kasih dan kedamaian. Menyerangnya berarti melukai seluruh umat, tanpa memandang keyakinan mereka. Ini adalah penghinaan terhadap iman dan hak hidup damai masyarakat Yahukimo, ” ujar Theofelus dengan nada tegas.

Tokoh Adat: Ini Bukan Perjuangan, Tapi Kehancuran Moral

Kecaman serupa datang dari tokoh adat Yahukimo, Simon Heluka, yang menyampaikan rasa kecewa mendalam. Ia menilai bahwa tindakan OPM ini telah melampaui batas moral dan kemanusiaan.

“Kita boleh berbeda pandangan, tapi rumah ibadah adalah garis suci yang tidak boleh disentuh oleh kekerasan. Menyerangnya sama saja dengan memusuhi seluruh rakyat Papua, karena nilai-nilai agama adalah bagian dari jati diri kami, ” ucap Simon.

Menurutnya, serangan ini menandakan bahwa gerakan separatis seperti Kodap XVI sudah tidak memiliki arah perjuangan yang bermoral, dan justru menebarkan teror membabi buta yang menyasar siapa saja, bahkan sesama warga Papua yang tidak terlibat dalam konflik.

Mengoyak Kehidupan Sosial dan Spiritual Masyarakat

Serangan terhadap rumah ibadah tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga meninggalkan luka sosial dan psikologis yang mendalam di tengah masyarakat. Rumah ibadah selama ini menjadi ruang pemersatu dan tempat berlindung bagi warga dari berbagai latar belakang. Ketika tempat itu menjadi sasaran kekerasan, maka yang diserang bukan hanya bangunan—tetapi juga kedamaian kolektif dan identitas kultural masyarakat Papua.

OPM Kodap XVI: Bukan Lagi Simbol Perjuangan, Tapi Ancaman Nyata

Dengan insiden ini, semakin jelas bahwa eksistensi kelompok separatis bersenjata seperti Kodap XVI justru menggerus sendi-sendi kehidupan masyarakat Papua sendiri. Alih-alih menjadi simbol pembebasan, mereka berubah menjadi ancaman bagi umat, pemeluk agama, serta nilai-nilai kebersamaan yang selama ini dipegang teguh oleh masyarakat adat.

Serangan ini juga memperkuat argumen bahwa OPM, khususnya faksi-faksi bersenjata seperti Kodap XVI, telah kehilangan legitimasi moral di mata rakyat Papua sendiri.

Kesimpulan: Papua Butuh Perdamaian, Bukan Teror

Insiden penyerangan rumah ibadah di Yahukimo merupakan alarm keras bagi semua pihak. Ini bukan hanya persoalan politik, tetapi sudah menjadi krisis kemanusiaan dan moralitas. Papua, dengan segala keberagamannya, membutuhkan ruang damai, bukan medan perang yang dibungkus dalih perjuangan.

Sudah saatnya masyarakat Papua bersatu untuk menolak kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk yang dilakukan oleh kelompok bersenjata yang mengklaim membawa nama rakyat, tetapi justru menebar ketakutan dan kehancuran.

(Apk/RED1922)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |