Kepemimpinan Desa dan Kelurahan Berbasis Potensi, Jalan Baru Menuju Kemandirian dan Kemakmuran Warga

17 hours ago 8

PANGKEP SULSEL - Pembangunan desa dan kelurahan hari ini menuntut lebih dari sekadar mengurus administrasi dan menyalurkan program pemerintah. Kepala desa dan lurah dituntut menjadi motor perubahan, penggerak aspirasi, sekaligus katalisator ekonomi lokal. Dalam konteks pembangunan yang semakin kompetitif, desa dan kelurahan tidak boleh hanya menjadi penonton perkembangan daerah; desa harus menjadi pusat pertumbuhan baru yang bertumpu pada kekuatan warganya sendiri dan kekayaan alam yang dimiliki.

Potensi desa dan kelurahan bukan hanya pada jumlah hektar sawah atau panjang garis pantainya. Potensi sejati terletak pada manusianya—pada kemauan masyarakat untuk bangkit, serta kemampuan pemimpinnya membangun kesadaran, menggagas gerakan kolektif, dan memberi arah yang jelas. Ketika warga diberi ruang untuk berpartisipasi, bukan sekadar menjadi objek program, maka setiap potensi alam yang selama ini terabaikan bisa berubah menjadi sumber kesejahteraan nyata.

Strategi awal yang harus dilakukan pemimpin desa dan kelurahan adalah memetakan potensi dan masalah secara partisipatif. Tanah, kebun, tambak, sungai, hutan rakyat, bahkan sampah desa dan kelurahan adalah aset jika dipetakan dengan benar. Dengan melibatkan petani, nelayan, tokoh perempuan, pemuda, dan tokoh adat, desa dan kelurahan membangun fondasi yang kuat untuk menentukan arah pembangunan sesuai kebutuhan dan keunggulan lokalnya sendiri.

Namun potensi tidak akan bergerak tanpa kesadaran kolektif. Kepala desa dan kelurahan harus menanamkan rasa percaya diri bahwa desa dan kelurahan punya kekuatan membangun masa depannya. Sosialisasi terus-menerus, kampanye bangga produk desa dan kelurahan dan dialog terbuka adalah langkah strategis menumbuhkan rasa memiliki. Ketika masyarakat mulai percaya pada kemampuannya, energi sosial desa dan kelurahan berubah menjadi kekuatan pembangunan.

Salah satu pilar penting adalah kelembagaan ekonomi desa. Pendirian BUMDes atau BUMKel bukan hanya kewajiban formal, tetapi instrumen menggerakkan ekonomi rakyat. BUMDes dan kelurahan harus menjadi jembatan antara potensi desa, kelurahan dan pasar, bukan hanya menjadi wadah simbolis. Jika dikelola profesional, BUMDes dan BUMKel dapat mengolah hasil tani, memfasilitasi wisata desa, dan kelurahan menangani distribusi produk, hingga mengelola bank sampah desa dan kelurahan.

Hilirisasi produk lokal adalah tahap kunci lain. Ubi menjadi tepung atau susu, kelapa menjadi VCO, limbah tambak menjadi pupuk cair, hingga mangrove menjadi objek wisata edukatif—semua itu adalah bentuk kecerdasan desa dan kelurahan mengubah bahan mentah menjadi nilai tambah. Desa dan kelurahan yang hanya menjual bahan mentah akan terus tertinggal; desa yang mengolah, mengemas, dan memasarkannya akan melesat menjadi pusat ekonomi baru.

Kemitraan strategis turut membuka jalan kesuksesan. Desa dan kelurahan tidak harus berjalan sendiri. Kampus, lembaga pemerintah, pelaku industri, dan komunitas sosial adalah mitra alami desa dan kelurahan. Dengan sinergi, desa dan kelurahan dapat memperoleh akses teknologi, pendampingan usaha, pelatihan digital marketing, hingga peluang permodalan. Desa dan kelurahan maju bukan karena besar, tetapi karena kuat bersinergi.

Akan tetapi, modal fisik saja tidak cukup. Kunci keberhasilan adalah peningkatan kapasitas manusia. Pelatihan pertanian modern, sekolah lapang nelayan, hingga digitalisasi UMKM adalah investasi jangka panjang. Ketika petani berubah menjadi pengusaha desa dan kelurahan ketika pemuda desa dan kelurahan menjadi kreator konten produk lokal, dan ketika ibu-ibu rumah tangga memproduksi olahan makanan, desa dan kelurahan mendapatkan roda ekonomi baru yang lebih cepat berputar.

Lingkungan tidak boleh dikorbankan dalam proses pembangunan. Desa dan kelurahan yang cerdas adalah desa dan kelurahan yang menjaga alamnya sembari memanfaatkan potensi yang ada. Program zero waste, rehabilitasi mangrove, pertanian organik, hingga pengelolaan air yang baik adalah syarat mutlak agar generasi berikutnya tetap punya ruang hidup yang layak. Desa harus makmur tanpa merusak alam.

Transparansi menjadi benteng moral pembangunan desa. Ketika kepala desa dan kepala kelurahan membuka anggaran, melibatkan warga dalam pengawasan, dan memberikan laporan berkala, kepercayaan tumbuh. Kepercayaan pada akhirnya melahirkan partisipasi—dan partisipasi adalah nafas pembangunan desa  dan kelurahan yang sesungguhnya.

Budaya gotong royong harus terus dijaga dan diperkuat. Gerakan Jumat bersih, gotong royong sadap sumber air, hingga pasar UMKM desa adalah bentuk nyata kebersamaan. Teknologi boleh maju, tetapi semangat gotong royong adalah DNA desa yang tidak boleh hilang. Desa dan kelurahan kuat karena kebersamaan, bukan karena individualisme.

Penghargaan dan insentif menjadi penguat perubahan sosial. Ketika petani berprestasi diberi panggung, pemuda inovatif dihargai, dan kelompok usaha diberi dukungan modal, maka lahirlah kompetisi sehat. Desa dan kelurahan tumbuh bukan karena tekanan, melainkan karena inspirasi dan apresiasi.

Pada akhirnya, pembangunan desa dan kelurahan adalah kerja maraton, bukan sprint. Kepala desa dan kepala kelurahan bukan hanya pemimpin administratif, tetapi pemimpin peradaban tingkat lokal. Dengan visi, strategi, kedisiplinan, dan keberpihakan kepada masyarakat, desa dan kelurahan dapat bangkit dari kekuatannya sendiri. Desa dan kelurahan bukan sekadar wilayah administratif, tetapi rumah besar peradaban bangsa.

Jika desa dan kelurahan bangkit, maka Indonesia berdiri lebih kokoh. Sebab kekuatan negara ini sejatinya tumbuh dari akar: dari tanah desa dan kelurahan tangan petani, jaring nelayan, dan semangat warganya. Dan di titik inilah kita percaya—desentralisasi pembangunan berbasis potensi alam bukan hanya pilihan, tetapi jalan menuju kemandirian dan kemakmuran sejati bagi seluruh rakyat desa dan kelurahan.

Pangkep 2 Nopember 2025

Herman Djide 

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan 

Read Entire Article
Karya | Politics | | |