OPINI - Sorotan tajam mengarah ke Gedung DPRD Kabupaten Barru. Bukan karena kinerja yang luar biasa, melainkan karena sikap sang Ketua, H. Syamsuddin Muhiddin, yang dituding menghambat proses pemberhentian oknum anggota DPRD berinisial HRD.
Anggota dari Partai Demokrat ini sebelumnya telah diputus bersalah melanggar kode etik oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD Barru, sebuah putusan yang seharusnya menjadi langkah awal untuk menjaga marwah dan integritas lembaga.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan HRD bukanlah isu sepele. Putusan BK, yang bersifat final, sudah jelas menyatakan bahwa yang bersangkutan layak dikenai sanksi berat, yaitu pemberhentian sebagai anggota DPRD.
Sikap Ketua DPRD memperlihatkan pola penghambatan yang sistematis. Mulai dari menunda paripurna dengan alasan tidak kuorum, hingga tiba-tiba mengumumkan paripurna tanpa persiapan matang.
Dari sikap itu, terlihat jelas Ketua DPRD seolah menganggap putusan BK hanya formalitas belaka. Bahkan terkesan tidak mengakui putusan resmi BK DPRD Barru.
Sebagai pimpinan tertinggi, ia memiliki tanggung jawab untuk memastikan setiap proses dan aturan di dalam lembaga berjalan sesuai koridor. Sikap Ketua DPRD seolah-olah mengabaikan hasil kerja BK, yang notabene adalah bagian dari DPRD itu sendiri. Apakah ini bentuk solidaritas politis? Atau ada kepentingan lain yang sedang bermain di balik layar?
Implikasi Politis dan Hukum
Sikap ini tak hanya menimbulkan spekulasi publik, tetapi juga memiliki implikasi hukum dan politis yang serius. Secara hukum, tindakan Ketua DPRD ini bisa dianggap melanggar tata tertib dan mengabaikan putusan internal lembaga.
Ini bisa menjadi preseden buruk yang merusak kredibilitas DPRD Barru di mata masyarakat. Jika pimpinan saja tidak patuh pada aturan yang dibuatnya sendiri, bagaimana bisa publik percaya pada integritas mereka?
Secara politis, sikap ini mencoreng nama baik Partai Demokrat. Meskipun HRD yang melanggar, penundaan proses pemberhentian ini seolah menunjukkan kelambanan dan ketidaktegasan partai dalam menindak kadernya yang bermasalah.Ini tentu akan merugikan elektabilitas partai jelang Pemilu. Masyarakat butuh politisi yang bersih, bukan yang dilindungi saat terjerat kasus.
Mendesak Keterbukaan dan Ketegasan
Masyarakat Barru berhak mendapatkan jawaban atas polemik ini. Ketua DPRD, Syamsuddin Muhiddin harus segera menjelaskan mengapa proses ini terhambat. Jika ia benar-benar peduli pada marwah lembaga dan aspirasi rakyat. Tidak ada alasan untuk menunda lagi, apalagi sampai menimbulkan spekulasi yang merusak.
Kasus ini adalah ujian nyata bagi DPRD Barru. Apakah mereka benar-benar lembaga yang berpihak pada keadilan dan etika, atau hanya sekadar tempat berlindung bagi politisi yang bermasalah? Publik menanti ketegasan. Jangan biarkan satu oknum merusak citra seluruh anggota dewan yang telah dipilih rakyat.