JAKARTA - Rencana pemerintah untuk menempatkan personel TNI di lingkungan Kejaksaan Agung kembali mencuat ke permukaan, seiring dengan pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Meski disebut sebagai bagian dari upaya sinergi antar-lembaga penegak hukum, kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai kalangan karena dianggap berpotensi melemahkan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menabrak batas kewenangan antara institusi militer dan sipil.
Salah satu suara penolakan datang dari Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (Purn) Frederik Kalalembang. Dalam pernyataannya pada 15 Mei 2025, Frederik menegaskan pentingnya menjaga profesionalisme dan independensi antar-lembaga negara. Ia menyoroti bahwa fungsi militer dan penegakan hukum sipil memiliki mandat yang sangat berbeda secara konstitusional, dan mencampuradukkannya bisa menciptakan tumpang tindih kewenangan serta potensi pelanggaran terhadap hak-hak sipil masyarakat.
Menurut Frederik, keberadaan personel militer di lembaga penegak hukum sipil seperti Kejaksaan bukan hanya berisiko menciptakan ketegangan antar-institusi, tetapi juga bisa merusak persepsi publik tentang netralitas dan integritas Kejaksaan itu sendiri.
“Apakah kita ingin melihat kejaksaan sebagai institusi yang independen, atau sebagai perpanjangan dari kekuatan bersenjata negara?” ujarnya retoris.
Lebih lanjut, Frederik mengingatkan bahwa TNI sudah memiliki tanggung jawab berat dalam menjaga kedaulatan dan stabilitas keamanan nasional, terutama di wilayah konflik seperti Papua. Ia mengkritik keras kebijakan yang justru mengalihkan personel militer ke tugas-tugas administratif di lingkungan sipil, padahal di lapangan masih terjadi gangguan dari kelompok bersenjata yang menelan banyak korban. Data menunjukkan bahwa sepanjang 2024, sebanyak 37 anggota TNI-Polri menjadi korban serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB), dengan 16 prajurit TNI gugur atau terluka. Tak hanya aparat, 29 warga sipil juga tewas, menandakan bahwa situasi keamanan belum stabil.
“Logikanya di mana? Kita bicara soal pembentukan 100 batalyon baru untuk memperkuat pertahanan, tapi pada saat yang sama personelnya justru ditempatkan di kantor kejaksaan. Ini bukan sinergi, ini inkonsistensi, ” tegas Frederik.
Kritik ini juga menyentuh dimensi sosial yang lebih luas. Frederik memperingatkan bahwa kehadiran militer di institusi sipil dapat menimbulkan keresahan psikologis masyarakat. Sejarah panjang Indonesia dalam menghadapi otoritarianisme militer membuat sensitivitas publik terhadap peran militer di ranah sipil masih tinggi. Dalam masyarakat demokratis, kehadiran aparat bersenjata di ruang-ruang publik non-pertahanan—seperti pengadilan dan kejaksaan—dapat memicu rasa takut, menurunkan kepercayaan terhadap institusi, dan bahkan berdampak pada sektor ekonomi yang sedang lesu.
Meskipun pemerintah beralasan bahwa penempatan ini bertujuan memperkuat kerja sama dan efektivitas antar-lembaga, Frederik menegaskan bahwa sinergi bukan berarti mencampuradukkan fungsi. Solusi untuk meningkatkan kapasitas Kejaksaan, menurutnya, bukan dengan menghadirkan militer, melainkan dengan memperbaiki sistem pengamanan internal, meningkatkan kompetensi aparat, serta memanfaatkan teknologi keamanan siber.
Ia juga menyinggung bahaya tergerusnya prinsip supremasi sipil yang merupakan pilar utama dalam sistem demokrasi. Dalam sebuah negara demokratis yang sehat, institusi sipil harus memiliki kendali penuh atas militer, bukan sebaliknya. Reformasi sektor keamanan pasca-Orde Baru dirancang untuk memisahkan secara tegas peran militer dari urusan sipil, dan setiap kebijakan yang cenderung membalikkan arah reformasi tersebut harus ditolak.
Frederik menutup pernyataannya dengan menyerukan kehati-hatian dalam revisi UU TNI. Ia menilai bahwa undang-undang tersebut tidak boleh menjadi pintu masuk untuk kembali mengaburkan batas-batas yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Dalam sistem demokrasi, profesionalisme militer dan supremasi hukum hanya dapat terjaga jika setiap lembaga negara bekerja sesuai mandat dan batas kewenangannya masing-masing.
Penempatan TNI di Kejaksaan memang bisa dipahami sebagai upaya efisiensi birokrasi dan keamanan. Namun, jika tidak disertai dengan batasan hukum yang jelas dan perlindungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, kebijakan ini lebih banyak menimbulkan risiko daripada manfaat. Ke depan, pemerintah perlu menimbang lebih dalam implikasi jangka panjang dari sinergi semu ini terhadap tatanan sipil, hak asasi manusia, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara. (MIR)