JAKARTA - Penyelidikan kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan hutan di kawasan PT Industri Hutan V (INHUTANI V) terus bergulir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Rabu (17/9), memanggil Staf Ahli Menteri Kehutanan, Dida Mighfar Ridha, untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Dalam agenda pemeriksaannya, Dida Mighfar akan dimintai keterangan dalam kapasitasnya sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari.
"Pemeriksaan di Gedung KPK Merah Putih, " tegas Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/9).
Tak hanya itu, lembaga antirasuah ini juga memanggil enam orang saksi lainnya. Mereka dijadwalkan menjalani pemeriksaan di Kantor Polresta Bandar Lampung. Keenam saksi tersebut meliputi Surya, Fitri, Arum, dan Benny Susanto yang merupakan staf atau pegawai PT PML perwakilan Lampung. Turut dipanggil pula Koordinator Operasional wilayah Lampung, Wardiono, serta Estate Manager PT PML Register 46, Hari Sriyono.
Kasus ini berakar dari kerja sama antara PT INHUTANI V, yang menguasai areal hutan seluas kurang lebih 56.547 hektare di Provinsi Lampung, dengan PT PML. Perjanjian Kerja Sama (PKS) tersebut mencakup wilayah register 42 (Rebang) seluas sekitar 12.727 hektare, register 44 (Muaradua) seluas 32.375 hektare, dan register 46 (Way Hanakau) seluas 10.055 hektare.
PT PML diduga lalai dalam memenuhi kewajibannya, termasuk tidak membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk periode 2018-2019 senilai Rp2, 31 miliar. Selain itu, perusahaan ini juga diduga tidak menyetorkan pinjaman dana reboisasi sebesar Rp500 juta per tahun dan tidak menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan kepada PT INHUTANI setiap bulannya.
Menariknya, meskipun dilanda berbagai persoalan, pada awal tahun 2024, PT PML disebut masih berupaya melanjutkan kerja sama dengan PT INHUTANI V untuk kembali mengelola kawasan hutan di register 42, 44, dan 46. Hal ini didasarkan pada PKS yang telah diubah pada tahun 2018.
Pada Juni 2023, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan putusan inkrah terkait sengketa hukum antara PT INHUTANI dan PT PML. Putusan tersebut menguatkan bahwa PKS yang telah diubah pada tahun 2018 masih berlaku, dan PT PML diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp3, 4 miliar.
Dalam perkembangan kasus ini, terungkap bahwa PT PML, melalui Djunaidi, telah mengeluarkan dana sebesar Rp4, 2 miliar untuk pengamanan tanaman dan kepentingan PT INHUTANI V, yang disalurkan ke rekening PT INHUTANI V. Di sisi lain, Direktur Utama INHUTANI V, Dicky Yuana Rady, diduga menerima uang tunai dari Djunaidi sebesar Rp100 juta yang disebut digunakan untuk keperluan pribadi.
Lebih lanjut, pada November 2024, Dicky Yuana Rady diduga menyetujui permintaan PT PML terkait perubahan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH). Perubahan ini mencakup pengelolaan hutan tanaman seluas 2.619, 40 Ha di wilayah register 42 dan hutan tanaman seluas 669, 02 Ha di wilayah register 46.
Hingga kini, tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Mereka adalah Direktur Utama PT Industri Hutan V (INHUTANI V) Dicky Yuana Rady, Direktur PT PML Djunaidi, dan Staf Perizinan SB Grup bernama Aditya.
Dicky Yuana Rady sebagai pihak penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sementara itu, Djunaidi dan Aditya selaku pihak pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (PERS)






































