NDUGA - Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali diguncang konflik internal. Kali ini, perpecahan mencuat di tubuh Kodap III Ndugama Drakma, salah satu basis kelompok bersenjata paling aktif di wilayah pegunungan Papua.
Nama Egianus Kogoya, yang selama ini dikenal sebagai pimpinan utama, kini dipertanyakan legitimasinya. Sebagian anggotanya mulai berbalik arah, menuding Egianus lebih mementingkan kepentingan pribadi dibanding perjuangan yang kerap diklaim. Di sisi lain, sosok Undius Kogoya mulai naik daun dan disebut-sebut sebagai figur alternatif yang lebih militan serta masih mau bergerilya bersama kelompok di lapangan.
Awal Retaknya Kepemimpinan
Sumber perpecahan berawal dari isu pembebasan sandera pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens, yang sempat ditawan lebih dari satu tahun. Egianus dituding menerima sejumlah uang dari pihak tertentu setelah pilot tersebut dibebaskan.
Kabar ini memicu gelombang ketidakpercayaan di dalam tubuh kelompoknya sendiri. Sejumlah anggota merasa kecewa, menilai Egianus hanya mengejar keuntungan pribadi. Dalam pandangan mereka, Egianus bukan lagi figur yang “militan”, melainkan sosok yang mulai jauh dari barisan.
“Mereka selalu menyebut sedang berjuang, tetapi kenyataannya rebutan kekuasaan dan uang. Masyarakat sudah lama tahu, yang mereka lakukan hanyalah memperkaya diri dengan cara merampas hak rakyat, ” tegas Pdt. Markus Tabuni, tokoh masyarakat Nduga, saat dimintai tanggapannya, Kamis (18/9/2025).
Undius Naik ke Permukaan
Berbeda dengan Egianus, Undius Kogoya disebut lebih konsisten berada di medan gerilya. Ia masih turun langsung memimpin kelompok dalam pergerakan di hutan. Inilah yang membuat sejumlah pengikut merasa Undius lebih pantas menjadi pemimpin Kodap III.
“Undius lebih setia di lapangan. Dia ikut berjuang bersama pasukannya, bukan sekadar bersembunyi atau memanfaatkan situasi untuk mencari keuntungan pribadi, ” ungkap salah seorang sumber di Nduga yang mengetahui dinamika internal kelompok tersebut.
Masyarakat Jadi Korban
Bagi masyarakat, perebutan kepemimpinan di tubuh OPM hanya menambah daftar panjang penderitaan. Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, konflik internal ini kembali menunjukkan wajah asli OPM yang haus kekuasaan.
“Mereka saling berebut jabatan, padahal rakyat Papua terus jadi korban. Perpecahan ini seharusnya membuka mata semua orang bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari OPM. Mereka hanya membawa penderitaan dan ketakutan, ” ujar Yafet Heluka, tokoh pemuda Nduga, dengan nada kecewa.
Rapuhnya Persatuan OPM
Fenomena ini bukan pertama kalinya terjadi. Beberapa tahun terakhir, sejumlah Kodap OPM memang kerap diguncang konflik internal, baik karena perbedaan strategi, masalah logistik, hingga perebutan “legitimasi perjuangan.” Perpecahan di tubuh Kodap III Ndugama Drakma kini hanya mempertegas rapuhnya persatuan dalam kelompok tersebut.
Bagi rakyat Papua, kabar ini seolah menjadi bukti nyata bahwa OPM tidak pernah benar-benar memikirkan masa depan masyarakat. Mereka sibuk mengurus kepentingan pribadi dan rebutan kekuasaan, sementara rakyat dibiarkan hidup dalam ketakutan akibat aksi kekerasan dan penjarahan.
Harapan Rakyat: Damai dan Sejahtera
Masyarakat kini berharap momentum perpecahan ini menjadi titik balik untuk menegaskan bahwa OPM bukanlah jalan keluar bagi Papua. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah kedamaian, pembangunan, dan rasa aman di bawah bingkai NKRI.
“Sudah cukup rakyat dijadikan korban. Kami ingin hidup damai, membangun, dan sejahtera. Tidak ada masa depan di balik konflik dan perebutan kekuasaan, ” ujar seorang warga Nduga dengan penuh harapan.
Konflik Egianus dan Undius Kogoya kini bukan sekadar perebutan kursi pimpinan, melainkan cermin retaknya fondasi perjuangan yang selama ini mereka gaungkan. Satu hal yang makin jelas: OPM bukanlah jalan bagi rakyat Papua, melainkan sumber perpecahan dan penderitaan.
(APK/Red1922)