MAKASSAR — Bupati Luwu Timur periode 2005–2015, H. Andi Hatta Marakarma atau akrab disapa Opu Hatta, menyuarakan kekhawatiran serius terhadap status lahan kompensasi yang kini menjadi bagian dari rencana pengembangan kawasan industri di Kabupaten Luwu Timur.
Menurutnya, terdapat indikasi bahwa lahan yang semestinya berfungsi sebagai kawasan hijau justru dialihfungsikan menjadi kawasan industri, yang berpotensi menyalahi prinsip lingkungan dan ketentuan hukum yang berlaku.
Kekhawatiran itu disampaikan Opu Hatta dalam Roundtable Discussion bertema “Prospek Kawasan Industri Luwu Timur; Telaah Aspek AMDAL dan Regulasi Teknis” yang digelar The Sawerigading Institute di Ruang Redaksi Fajar, Gedung Graha Pena Makassar, Jumat (31/10/2025).
“Persoalan ini kering dari sisi sosialnya. Aspek teknis dan administrasi perizinan bisa saja diatur, tapi kalau aspek sosial dan lingkungan diabaikan, itu akan jadi masalah besar. Saya bicara berdasarkan pengalaman empiris, ” ujar Bupati dua periode yang juga dikenal sebagai tokoh adat Mincara Malili itu.
Opu Hatta meminta pemerintah daerah dan pihak terkait untuk menelusuri secara transparan status lahan yang disewakan ke PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP).
Ia menduga bahwa sebagian lahan tersebut merupakan lahan kompensasi pembangunan PLTA Karebbe yang dahulu telah direboisasi oleh PT INCO (kini PT Vale Indonesia).
“Kalau benar lahan itu dulunya kawasan hutan yang sudah dihijaukan (oleh PT Inco), lalu sekarang dijadikan kawasan industri, itu jelas menyalahi aturan. Lahan kompensasi seharusnya tetap berfungsi untuk menghijaukan kawasan hutan yang tergantikan, bukan malah dialihfungsikan lagi, ” tegasnya.
Ia menambahkan, transparansi menjadi kunci agar tidak timbul kecurigaan publik atas kebijakan yang diambil pemerintah daerah.
“Masyarakat berhak tahu agar semuanya jelas. Jangan sampai keputusan strategis seperti ini menimbulkan konflik baru di tengah masyarakat, ” ujarnya.

Pandangan senada disampaikan oleh Dr. Ir. Darhamsyah, akademisi Universitas Hasanuddin yang pernah menjabat Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion (P3E) Sulawesi dan Maluku.
Ia menegaskan, lahan kompensasi dari proyek pembangunan tidak boleh lagi dialihfungsikan untuk kepentingan lain.
“Tidak boleh (dialihfungsikan). Kalau begitu terus, kapan selesainya penghijauan kita ini? Kalau itu lahan kompensasi dari pembangunan bendungan misalnya, maka peruntukannya harus tetap begitu, ” ungkap Darhamsyah.
Diskusi yang digagas The Sawerigading Institute ini merupakan tindak lanjut dari FGD sebelumnya pada 17 Oktober 2025 di Hotel MaxOne Makassar.
Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah pakar dan pejabat teknis, antara lain Dr. Azri Rasul (Kepala Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup Sulawesi Maluku), Syaiful Haris (Fungsional Penata Perizinan Dinas PMPTSP Sulsel), Dr. Fachrie Rezka Ayyub (Pengendali Dampak LH Dinas LHK Sulsel), Prof. Anwar Daud (Kepala Pusat Studi Lingkungan Hidup Unhas), dan Abdul Wahid Sangka (Kadis PMPTSP Kabupaten Luwu Timur).
Melalui forum ini, The Sawerigading Institute menegaskan komitmennya untuk mengawal arah investasi di Luwu Raya agar sejalan dengan prinsip keberlanjutan dan berpihak pada kepentingan masyarakat lokal.
“Investasi harus memberi manfaat nyata, bukan hanya ekonomi, tapi juga sosial dan ekologis, ” demikian pernyataan penutup Asri Tadda, Direktur The Sawerigading Institute.
















































