LUWU TIMUR — Di balik rencana pembangunan kawasan industri nikel di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, terjalin simpul-simpul bisnis yang menghubungkan tiga nama besar, yaitu PT Vale Indonesia Tbk (INCO), Zhejiang Huayou Cobalt Co. Ltd. (Huayou), dan PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP).
Ketiganya menjadi aktor penting dalam transformasi Sorowako dan Malili — dua wilayah yang kini digadang sebagai episentrum baru industri pengolahan nikel di Indonesia.
Namun di tengah gegap-gempita investasi, muncul pertanyaan serius: siapa sebenarnya yang mengendalikan arah investasi besar ini?
Dari PLTA Karebbe ke Smelter HPAL
Benang merah proyek ini sejatinya bisa ditarik sejak tahun 2006, ketika Pemkab Luwu Timur menandatangani kesepakatan dengan PT Inco (kini Vale Indonesia) terkait pembangunan PLTA Karebbe.
Sebagai bagian dari izin pinjam pakai kawasan hutan, disepakati pula adanya lahan kompensasi di wilayah Malili — lahan yang kelak akan menjadi sumber perdebatan baru.

Hampir dua dekade kemudian, nama Vale kembali mencuat lewat proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) dalam proyek Sorowako Limonite (Sorlim).
Kerja sama dengan Huayou Cobalt secara resmi ditandatangani pada 25 Agustus 2023 di Jakarta. Proyek itu bertujuan memproduksi 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt per tahun dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) — bahan baku utama baterai kendaraan listrik.
“Langkah ini menjadikan Vale bagian dari solusi dekarbonisasi global, ” ujar CEO Vale Indonesia Febriany Eddy saat itu.
Lahirnya PT IHIP: Anak dalam Rantai Investasi
Beberapa bulan sebelumnya, Huayou telah mendirikan PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP), tepatnya pada Juni 2023, untuk menopang kebutuhan industri hilir dari proyek HPAL Sorowako.
IHIP berdiri dengan struktur kepemilikan Huaxing Nickel (Hong Kong) Company Limited sebesar 70?n PT Rimau Java Investama sebesar 30%.

Pada Oktober 2023, Huayou mengumumkan investasi awal US$50 juta untuk memulai pembangunan kawasan industri di Malili.
Agar kawasan ini mandiri secara energi, dua anak perusahaan Rimau Group — PT Green Malili Unity Power dan PT Malili Unity Power — dibentuk untuk mengembangkan sistem kelistrikan khusus kawasan tersebut.
Dengan struktur semacam ini, IHIP menjadi simpul baru dalam jaringan investasi Vale–Huayou yang membentang dari tambang di Sorowako hingga kawasan industri Malili.
Asri Tadda: “IHIP Tak Terpisahkan dari Vale”
Direktur The Sawerigading Institute (TSI), Asri Tadda, menjadi salah satu pihak yang menyoroti eratnya hubungan tiga entitas ini.
Menurutnya, sulit memisahkan peran Vale, Huayou, dan IHIP karena ketiganya berada dalam satu jalur bisnis dan kepentingan investasi yang sama.
“Kalau kita runut sejak perjanjian lahan kompensasi pembangunan PLTA Karebbe tahun 2006, lahan yang disewakan Pemkab Luwu Timur ke PT IHIP sekarang itu seperti dikembalikan lagi ke Vale, ” kata Asri dalam pernyataannya kepada awak media, Senin (3/11/2025).

Ia menjelaskan, PT IHIP lahir dari Huayou Cobalt — perusahaan yang sudah terlebih dahulu menjadi mitra Vale dalam pembangunan smelter HPAL Sorowako.
“Sulit memisahkan semua entitas ini karena proyeknya satu ekosistem. HPAL Sorowako adalah jantungnya, sementara kawasan industri Malili adalah penopangnya, ” jelas Asri.
Menurutnya, kehadiran IHIP di Malili bukanlah entitas baru yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari strategi integrasi vertikal Vale dan Huayou untuk memperkuat rantai pasok nikel dan bahan baku baterai listrik di Indonesia.
Kerja Sama Pemkab dan IHIP
Simpul bisnis ini semakin menjadi sorotan setelah Pemkab Luwu Timur menandatangani kerja sama dengan PT IHIP pada 24 September 2025 di Jakarta Selatan.
Perjanjian itu mengatur pemanfaatan tanah hak pengelolaan (HPL) milik Pemkab di Desa Harapan, Kecamatan Malili, seluas 394, 5 hektare — lahan yang disebut-sebut merupakan kompensasi PLTA Karebbe tahun 2006 silam.
Kerja sama berlaku 50 tahun hingga 2075, dengan nilai sewa awal Rp4, 445 miliar untuk periode lima tahun pertama.
Namun, di sinilah muncul polemik. Sejumlah kalangan menilai nilai sewa itu terlalu rendah dan proses penilaiannya tidak transparan.
Mantan Bupati Angkat Suara
Mantan Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma atau Opu Hatta ikut angkat bicara. Ia mengingatkan agar pemerintah daerah berhati-hati mengelola lahan kompensasi tersebut.
“Kalau benar lahan itu dulunya kawasan hutan yang sudah direboisasi oleh PT Inco, lalu sekarang dijadikan kawasan industri, itu jelas menyalahi aturan. Lahan kompensasi harus tetap berfungsi ekologis, ” ujarnya dalam diskusi publik The Sawerigading Institute pada 31 Oktober 2025 di Makassar.

Seruan Transparansi dan Audit Publik
Melihat keterkaitan yang kompleks antara pemerintah daerah, Vale, Huayou, dan IHIP, Asri Tadda menilai penting dilakukan audit transparansi publik terhadap seluruh dokumen kerja sama, terutama soal penentuan harga sewa lahan dan status kepemilikan aset.
“Ini bukan soal menolak investasi, tapi soal memastikan tata kelola yang benar. Jangan sampai aset daerah berubah menjadi bagian dari konglomerasi global tanpa pengawasan publik, ” tegasnya.
Ia menambahkan, proyek sebesar ini seharusnya menjadi peluang untuk memperkuat ekonomi daerah, bukan justru menimbulkan keraguan soal kedaulatan dan keadilan ekonomi. (*)















































