OPINI - Rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto awal pekan lalu menandai babak penting arah kebijakan fiskal 2025. Dari forum itulah lahir paket stimulus 8-4-5, sebuah program senilai Rp16, 23 triliun yang diharapkan menjadi bantalan bagi ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global. Paket ini bukan hanya deretan angka, melainkan kerangka kerja yang menghubungkan insentif pajak, perlindungan sosial, dan penciptaan lapangan kerja dalam satu napas kebijakan.
Delapan kebijakan utama, empat program akselerasi dan lima instrumen pendukung, disiapkan untuk menjawab tantangan konkret. Dari insentif PPh final 0, 5 persen bagi UMKM, PPh 21 Ditanggung Pemerintah untuk sektor pariwisata dan padat karya, hingga diskon iuran BPJS bagi pekerja informal, seluruhnya menyasar jantung persoalan: menjaga daya beli rakyat dan memastikan dunia usaha tetap bergerak. Lebih jauh, program koperasi Merah Putih, revitalisasi tambak pantura, modernisasi kapal nelayan, serta replanting perkebunan rakyat menunjukkan orientasi pada penciptaan lapangan kerja yang luas.
Optimisme memang terasa. Pemerintah mencoba merajut sisi permintaan dan sisi penawaran sekaligus. Bantuan beras 10 kilogram per bulan untuk keluarga penerima manfaat, subsidi JKK dan JKM untuk ojol dan pekerja informal, hingga uang saku Rp3, 3 juta bagi peserta magang perguruan tinggi jelas memberi ruang bernapas bagi rumah tangga. Di sisi lain, insentif pajak bagi sektor padat karya, kredit dengan bunga lebih ringan melalui koperasi, dan penempatan dana Rp200 triliun di bank Himbara ditujukan untuk menguatkan likuiditas dunia usaha.
Kombinasi ini penting. Sebab, pengalaman pandemi memberi pelajaran: stimulus yang hanya mengandalkan bantuan konsumsi cepat kehilangan daya dorong, sementara insentif usaha tanpa dukungan daya beli masyarakat akan tertahan. Dengan meramu keduanya, pemerintah mencoba menciptakan efek berganda yang lebih merata.
Namun, optimisme itu tentu perlu disertai catatan.
Pertama, efektivitas sangat bergantung pada eksekusi. Program magang dengan uang saku setara upah minimum hanya bermakna jika benar-benar memberi akses ke dunia industri dan peluang kerja tetap. Tanpa itu, ia berisiko berhenti sebagai proyek seremonial.
Kedua, bantuan pangan 10 kilogram beras akan membantu keluarga miskin, tetapi distribusinya harus tepat sasaran, transparan, dan bebas dari distorsi politik.
Ketiga, insentif pajak bagi sektor padat karya patut diapresiasi, tetapi pemulihan pariwisata misalnya, tidak bisa hanya ditopang insentif fiskal. Perlu ekosistem yang lebih ramah investasi, promosi yang kuat, dan perbaikan infrastruktur pendukung. Dengan kata lain, fiskal adalah pintu masuk, tetapi bukan satu-satunya jawaban.
Poin lain yang tak kalah penting ialah keberlanjutan. Banyak program masih berbentuk uji coba dua atau tiga bulan. Pemerintah perlu menyiapkan mekanisme evaluasi yang jelas, sekaligus rencana pembiayaan jangka menengah agar kebijakan tidak berhenti di tengah jalan. Apalagi, defisit APBN 2025 sudah diatur pada level tertentu. Mengelola ruang fiskal agar stimulus tetap berlanjut tanpa mengganggu kredibilitas anggaran akan menjadi ujian besar.
Terlepas dari itu semua, paket 8-4-5 menunjukkan arah yang menjanjikan. Pemerintah memberi pesan bahwa kebijakan ekonomi tidak hanya soal angka pertumbuhan, melainkan juga tentang keadilan sosial: melindungi pekerja rentan, memberi kepastian bagi UMKM, dan membuka akses lapangan kerja baru. Jika dijalankan konsisten, program koperasi, perikanan, dan perkebunan rakyat bisa menjadi motor baru pertumbuhan yang lebih inklusif.
Tantangan birokrasi, risiko kebocoran, hingga koordinasi antar kementerian selalu membayangi. Tetapi, dengan monitoring mingguan dan kanal pengaduan bagi dunia usaha yang sudah dirancang, ada peluang untuk meminimalkan hambatan tersebut. Yang dibutuhkan adalah keseriusan menjalankan mekanisme pengawasan dan keberanian melakukan koreksi bila ada yang melenceng.
Pada akhirnya, paket stimulus 8-4-5 bukan sekadar instrumen fiskal. Ia adalah cermin arah politik ekonomi baru: optimis pada potensi domestik, namun sadar bahwa daya tahan bangsa hanya teruji ketika kebijakan mampu menyentuh rakyat kecil dan memberi ruang usaha untuk tumbuh bersama. Jalan panjang ekonomi 2025 masih berliku, tetapi dengan sinyal kebijakan yang lebih komprehensif ini, publik berhak menaruh harapan.
Oleh: Indra Gusnady