Papua Menangis dalam Diam: Ketika OPM Membakar Harapan dan Menyisakan Luka

1 month ago 21

PUNCAK - Di balik hamparan hutan hijau dan kabut pegunungan yang memeluk bumi Cenderawasih, kini tersimpan tangis yang jarang terdengar. Papua kembali berduka bukan karena bencana alam, tetapi akibat ulah manusia sendiri. Kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menebar teror dan kehancuran, membakar hutan, merusak fasilitas publik, dan menebar ketakutan di tengah masyarakat yang mendamba kedamaian.

Ironisnya, aksi yang diklaim sebagai bentuk “perjuangan kemerdekaan” itu justru menorehkan luka mendalam bagi rakyat Papua sendiri. Kampung-kampung sunyi, anak-anak kehilangan sekolah, dan warga hidup dalam ketakutan di tanah yang seharusnya menjadi tempat mereka menanam harapan.

“Kalau benar mereka berjuang untuk rakyat Papua, seharusnya mereka menjaga rakyat, bukan menyakiti. Membakar hutan dan merusak fasilitas itu bukan perjuangan, tapi kejahatan terhadap tanah kita sendiri, ” tegas Markus Wenda, tokoh masyarakat asal Kabupaten Puncak Jaya, Jumat (31/10/2025).

Ia menyebut bahwa pembakaran hutan telah menghancurkan ekosistem, mengusir satwa, dan mematikan sumber penghidupan warga yang bergantung pada hasil alam.

Aksi demonstrasi yang sejatinya menjadi wadah menyampaikan aspirasi, kini berubah menjadi panggung kekacauan. Di antara kerumunan massa, provokator bersenjata menyusup, mengubah suara rakyat menjadi kegaduhan dan kekerasan. Mereka menebar ketakutan dan menggiring opini seolah Papua sedang bergejolak, padahal rakyat hanya ingin tenang dan hidup berdampingan.

Dampak ulah OPM tak berhenti di situ. Fasilitas pendidikan dan kesehatan yang dibangun dengan penuh perjuangan kini hangus menjadi abu. Pendeta Samuel Tabuni, tokoh gereja di wilayah Intan Jaya, menahan pilu ketika menyaksikan rumah ibadah dan sekolah warga dibakar. “Mereka bakar sekolah, padahal anak-anak kita yang jadi korban. Mereka rusak puskesmas, padahal itu tempat masyarakat berobat. Ini sudah tidak manusiawi, ” ujarnya dengan nada getir.

Bagi rakyat Papua, pembakaran bukan hanya soal hancurnya bangunan, melainkan juga padamnya cahaya harapan. Di balik slogan perjuangan, justru rakyatlah yang paling menderita mereka yang ingin bertani, bersekolah, dan hidup damai harus menanggung akibat dari ambisi segelintir orang yang menolak dialog.

Kini, Papua menangis dalam diam. Namun dari setiap air mata, terselip doa yang sama: agar kedamaian kembali pulang ke tanah ini. Karena perjuangan sejati bukan dengan senjata dan api, melainkan dengan kasih, persaudaraan, dan kerja bersama membangun kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang.  

(MN/AG)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |