JAKARTA - Kasus yang mencoreng nama baik institusi terjadi di Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), di mana seorang pejabatnya berinisial M diduga melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istrinya. Insiden yang terjadi di lingkungan kantor BPJPH di Jakarta Timur pada siang hari, 17 Agustus 2025, usai upacara bendera, memicu keprihatinan mendalam dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Menurut Yuni Asriyanti, Anggota Komnas Perempuan, tindakan KDRT yang dilakukan oleh seorang pejabat negara merupakan sebuah pelanggaran ganda yang tak bisa ditoleransi. Ia menekankan, posisi sebagai abdi negara seharusnya menjadi cerminan teladan dalam menghormati hukum, hak asasi manusia, serta norma-norma sosial yang berlaku, termasuk kewajiban melindungi perempuan.
"KDRT yang dilakukan pejabat negara adalah pelanggaran ganda. Karena pejabat negara seharusnya menjadi contoh dalam penghormatan terhadap hukum, hak asasi, serta norma-norma sosial, termasuk perlindungan terhadap perempuan, " ujar Yuni Asriyanti saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Lebih lanjut, Yuni Asriyanti mengungkapkan bahwa ketika seorang pejabat melakukan KDRT, terlebih jika terjadi di ruang publik, dampaknya melampaui penderitaan korban. Hal tersebut secara langsung mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dan merusak integritasnya.
"Yang memprihatinkan juga, ini sebenarnya menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih dianggap sesuatu yang biasa, sering ditoleransi, dan dianggap urusan pribadi meskipun pemukulan jelas-jelas terjadi di ruang publik, " tegas Yuni Asriyanti.
Fenomena ini, menurutnya, membuktikan bahwa KDRT tidak pandang bulu dan tidak mengenal batas status sosial. Jabatan tinggi maupun kondisi finansial yang mapan tidak serta-merta membebaskan seseorang dari jerat budaya patriarki yang masih mengakar kuat di masyarakat.
"Jabatan tinggi dan kondisi finansial mapan tidak otomatis membuat seseorang terbebas dari budaya patriarki yang masih mengakar, termasuk dominasi laki-laki atas perempuan, rasa superioritas, serta anggapan bahwa urusan rumah tangga adalah hal privat yang tidak boleh dicampuri publik, " jelas Yuni Asriyanti.
Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan masih panjang dan membutuhkan kesadaran kolektif dari semua lapisan masyarakat, terkhusus bagi mereka yang memegang amanah publik. (PERS)