PTUN Makassar Tolak Gugatan HRD, Ketua DPRD Barru Dinilai Lamban Bertindak

3 weeks ago 15

BARRU - Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar menolak gugatan oknum anggota DPRD Barru dari partai Demokrat H. Rudi Hartono (HRD) atas putusan pemberhentian dari Badan Kehormatan DPRD Barru, karena kasus pelanggaran kode etik berat.

Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Makassar, perkara HRD teregistrasi dengan nomor 52/G/2025/PTUN.MKS sejak 28 Agustus 2025. Namun Mahkamah Agung RI melalui e-Court menegaskan:
Gugatan penggugat tidak diterima dan Biaya perkara dibebankan ke penggugat.

Putusan ini sekaligus memperkuat langkah Badan Kehormatan (BK) DPRD Barru yang telah memberhentikan HRD sejak 6 Agustus 2025 karena pelanggaran etik dan kasus amoral. 

Kuasa hukum BK DPRD Barru, Muhammad Aljebra Aliksan Rauf, SH, MH, membenarkan informasi ini. Ia menerima pesan otomatis e-Court Mahkamah Agung melalui WhatsApp yang menyatakan gugatan HRD tidak diterima. 

Ini bukti bahwa utusan BK sah, final, dan mengikat, ” tegasnya.

Dengan gugurnya gugatan HRD di PTUN, tidak ada lagi alasan bagi DPRD Barru untuk menunda proses administrasi pemberhentian permanen. Publik kini menunggu apakah Ketua DPRD berani menjalankan kewajiban sesuai tata tertib, atau kembali berlindung di balik dalih prosedural yang rapuh.

Sesuai Pasal 62 Tata Beracara BK DPRD, sanksi pemberhentian anggota harus segera disampaikan Pimpinan DPRD kepada partai politik bersangkutan dalam waktu 5 hari, lalu diteruskan ke Bupati dan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk disahkan

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah putusan BK dibacakan dalam paripurna, Ketua DPRD tidak segera menonaktifkan HRD sementara waktu, padahal itu langkah logis untuk menjaga marwah lembaga. Ketua DPRD malah berdalih menunggu keputusan Gubernur, ironisnya belum mengirim surat resmi ke Bupati dan Gubernur sebagaimana prosedur yang diatur

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah putusan BK dibacakan dalam paripurna, Ketua DPRD tidak segera menonaktifkan HRD sementara waktu, padahal itu langkah logis untuk menjaga marwah lembaga. Ketua DPRD malah berdalih menunggu keputusan Gubernur, ironisnya belum mengirim surat resmi ke Bupati dan Gubernur sebagaimana prosedur yang diatur

Akibat kelalaian ini, HRD tetap bebas menghadiri kegiatan DPRD meski sudah terbukti bersalah secara etik dan diberhentikan oleh BK. Kondisi ini jelas menabrak Kode Etik DPRD Pasal 5 dan Pasal 6 yang mewajibkan anggota menjaga martabat lembaga dan menaati sumpah/janji serta tata tertib

Drama makin kentara ketika Ketua DPRD gagal menggelar dua kali paripurna sesuai jadwal, lalu mendadak menggelar paripurna pada 29 Agustus 2025 tanpa melalui Badan Musyawarah (Bamus). Praktik ini membuat hasil paripurna cacat formil dan memperkuat kesan adanya manuver politik untuk melindungi HRD.

Satu hal yang jelas, semakin lama Ketua DPRD mengabaikan putusan BK, semakin kuat pula tudingan publik bahwa ia sengaja melindungi oknum bermasalah.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |