MEDAN – Wacana reformasi institusi Polri tengah menjadi sorotan publik, menuntut pertimbangan matang agar tidak berujung pada langkah yang salah. Ketua Umum Gema Santri Nusa, KH. Akhmad Khambali, SE, MM, menegaskan pentingnya peninjauan mendalam, apakah evaluasi yang dibutuhkan lebih terfokus pada individu atau institusi secara keseluruhan.
“Bila kebencian sudah tertanam akibat kesalahan individu-individu di kepolisian, jangan menyalahkan institusinya. Pemikiran-pemikiran seperti ini yang perlu direformasi, ” tegas Kyai Khambali saat berbincang dengan media di Medan, Senin (15/09/2025).
Beliau menambahkan, dalam sistem presidensial, Presiden sebagai Pimpinan Sipil Tertinggi. Oleh karena itu, menempatkan Polri di bawah kendali langsung Presiden justru akan menjamin dan mengontrol efektivitas serta netralitasnya.
“Justru dengan memindahkan ke Kementerian bisa membuka ruang intervensi Politik yang lebih dominan dan lebih besar karena Kementerian adalah Jabatan Politis, ” jelas Kyai Khambali. “Yang Kita Butuhkan bukan Perubahan posisi Kelembagaan tapi Penguatan Fungsi dan Pengawasan. Misalnya di Kepolisian ada Divisi Propam kemudian pada sisi lain ada Kompolnas yang bisa kita perkuat, system Rekruitment yang perlu dibenahi, Pelatihan aparat di Arahkan ke Etika dan Pelayanan Publik yang cepat itu semua bisa di lakukan tanpa merubah tatanan Struktur, ” lanjut Kyai Khambali yang juga merupakan pelaku Reformasi 98 dan pengasuh Ponpes Wirausaha Ahlul Kirom.
Beliau menilai, terdapat kesan tarik menarik antara dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi, masyarakat menginginkan perubahan yang lebih cepat dari Polri, namun di sisi lain, institusi ini dinilai telah menorehkan banyak prestasi dalam menjaga stabilitas keamanan nasional.
“Usulan reformasi Polri sebenarnya bukan barang baru. Menurutnya kembali yang juga Pengasuh Majlis Sholawat Ahlul Kirom, kinerja kepolisian selalu berada di ruang sorotan publik sejak era reformasi 1998, ” ujar Kyai Khambali.
Kasus represifitas, dugaan pelanggaran HAM, hingga perilaku oknum yang koruptif kerap menjadi alasan tuntutan perubahan struktural. Namun, pertanyaan krusialnya, apakah reformasi ini benar-benar menjadi solusi atau hanya sekadar retorika politik para pemangku kepentingan?
“Kyai Khambali menilai, terlalu sering wacana reformasi Polri justru menjadi alat untuk mendiskreditkan tanpa melihat fakta objektif bahwa Polri juga bertransformasi melalui program presisi dan pola pendekatan humanis, ” tambahnya.
“Rasanya kurang elok kalau kita selalu subyektif menilai kinerja, prestasi dan keberhasilan tak dipandang hanya karena satu kesalahan, ” tegas Kyai Khambali yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Kyai Tahlil.
Lebih lanjut, Kyai Khambali memandang bahwa aparat penegak hukum seringkali harus menanggung beban akibat kegagalan komunikasi politik antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai wakil rakyat dan masyarakat yang memilih mereka. Polisi seolah menjadi ‘tameng’ di garis depan, sementara pejabat publik yang seharusnya memikul tanggung jawab justru kerap menghilang.
Meskipun demikian, Kyai Khambali tidak menutup mata terhadap adanya ruang untuk perbaikan fundamental. Ia mendorong agar nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan kepolisian dan penguatan-penguatan lainnya tanpa perlu melakukan reformasi institusional secara besar-besaran.
“Ingat… REFORMASI POLRI BUKAN SOLUSI, ” pungkas Kyai Khambali, sang inisiator InsanPreneur. (PERS)