Tensi Tinggi di Barru, Kritik, Pro dan Kontra Mewarnai Rencana Operasi PT Conch

1 month ago 11

BARRU - Rencana pengoperasian kembali pabrik dan pengantongan semen PT Conch Cement Indonesia (Semen China) di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, terus menjadi polemik. 

Isu ini memicu perdebatan sengit antara pihak yang menolak (kontra) dan pihak yang mendukung (pro), dengan berbagai kritik tajam dilontarkan dari kedua belah pihak.

Penolakan keras datang dari sebagian besar LSM, aktivis lingkungan, dan industri semen eksisting di Sulawesi Selatan. Kritik utama mereka berpusat pada dua aspek krusial.

Kritik paling menonjol adalah kekhawatiran akan dampak lingkungan yang masif. Warga dan aktivis menyoroti rencana lokasi pabrik yang dinilai tidak sesuai dengan peruntukan kawasan industri, khususnya di daerah yang berdekatan dengan permukiman dan lahan produktif.

"Kami menolak industri yang akan merusak lingkungan. Lokasi pabrik dikhawatirkan akan menimbulkan polusi debu dan kebisingan yang parah, serta mengancam ketersediaan air di kawasan karst dan sawah, " ujar salah seorang perwakilan LSM, Andi Agus pada Sabtu (1/11/2025).

Mereka juga mengkritik dugaan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi kawasan industri, yang mengancam mata pencaharian petani lokal.

Kritik lain datang dari konteks ekonomi regional. Sulawesi Selatan saat ini sudah memiliki dua pemain besar di industri semen, yaitu PT Semen Tonasa (BUMN) dan PT Bosowa. Kehadiran PT Conch dinilai akan memicu persaingan tidak sehat atau kanibalisme industri.

"Stok semen di Sulsel sudah surplus. Jika pemain baru masuk dengan potensi harga yang jauh lebih kompetitif, itu akan mengancam keberlangsungan industri lokal. Dampak terburuknya adalah PHK massal bagi pekerja semen di pabrik yang sudah ada, " tegas pihak yang kontra.

Kritik ini menegaskan bahwa Barru tidak menolak investasi, tetapi menolak model investasi yang merusak lingkungan dan berpotensi mematikan ekonomi lokal yang sudah mapan.

Di sisi lain, terdapat sebagian warga lokal Barru yang menyuarakan dukungan, didorong oleh kebutuhan mendesak akan lapangan kerja dan kesempatan ekonomi. Dukungan ini muncul dengan kritik balik terhadap pihak yang menolak, terutama terkait isu pengangguran.

Para pendukung, banyak di antaranya adalah mantan pekerja yang kini menganggur setelah kegiatan operasional PT Conch sempat terhenti, menyatakan bahwa mereka sangat membutuhkan pekerjaan.

"Kami tidak menolak, kami justru butuh pekerjaan, bukan janji! Sebagian besar anak-anak di sini dulunya bekerja di sana. Setelah ditutup, mereka jadi pengangguran, " ungkap Hannis, salah seorang perwakilan warga.

Mereka mengkritik bahwa penolakan yang ada tidak sensitif terhadap isu pengangguran yang dihadapi masyarakat Barru.

Meskipun mendukung, warga juga melontarkan kritik dan syarat tegas kepada PT Conch. Mereka menuntut agar perusahaan berkomitmen untuk memprioritaskan penyerapan tenaga kerja lokal Barru jika pabrik kembali beroperasi.

"Kalau nanti dibuka lagi, kami ingin yang bekerja adalah warga Barru, jangan dari luar. Kami berharap ada perubahan dan dampak ekonomi langsung ke masyarakat sekitar, " tuntut mereka.

Hingga berita ini diturunkan, kontroversi terus bergulir. Pihak berwenang seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulsel menyatakan bahwa masukan dan penolakan dari masyarakat akan menjadi bahan pertimbangan penting jika dokumen resmi perizinan (seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan/Amdal) diajukan oleh PT Conch.

Polemik ini menempatkan Pemerintah Kabupaten Barru dan Provinsi Sulawesi Selatan dalam posisi sulit untuk menyeimbangkan antara kepentingan investasi, perlindungan lingkungan, dan kesejahteraan sosial masyarakat.

Berdasarkan perkembangan yang ada, pengurusan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Conch di Barru telah mengalami beberapa kali perubahan dan polemik, dengan status terkini.

Pada awalnya, pengurusan AMDAL dilakukan di tingkat Kabupaten Barru, namun proses tersebut tidak dilanjutkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Barru.

Pemkab Barru memutuskan untuk tidak mengeluarkan izin AMDAL, terutama karena pertimbangan dampak lingkungan dan banyaknya laporan/pengaduan yang masuk dari masyarakat setempat yang mempersoalkan rencana pembangunan pabrik, khususnya di lokasi seperti Sepe'e.

Pihak PT Conch kemudian diarahkan untuk mengajukan kembali izin AMDAL ke tingkat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan. Hal ini dilakukan karena pengurusan AMDAL juga berkaitan dengan rencana pembangunan pelabuhan yang ingin didirikan oleh PT Conch di Garongkong Barru, yang merupakan ranah pembangunan di wilayah pesisir.

Sementara itu, tanggapan terbaru dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Sulsel menegaskan bahwa, hingga laporan terakhir yang relevan, dokumen resmi perizinan (termasuk AMDAL) dari PT Conch belum masuk atau belum diterima oleh DLHK Sulsel.

DLHK Sulsel menyatakan bahwa semua masukan dan penolakan dari masyarakat yang telah disampaikan akan menjadi bahan pertimbangan penting jika nantinya dokumen resmi tersebut diajukan oleh pihak PT Conch.

Sebelum pengalihan ke provinsi, persoalan AMDAL PT Conch sempat dibawa ke ranah hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kasus ini berlanjut hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA). Pada saat itu, terdapat putusan yang membuat pengurusan AMDAL di Barru dianggap batal dan tidak bisa dilanjutkan oleh Pemkab Barru, sehingga pihak PT Conch harus memulai kembali pengajuan di tingkat Provinsi.

Secara ringkas, meskipun PT Conch telah didesak untuk mengurus izin di tingkat provinsi, penolakan warga masih terjadi dan DLHK Sulsel menyatakan masih menunggu pengajuan dokumen resmi sambil mempertimbangkan semua keberatan masyarakat.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |