JAKARTA - Legislator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Kalimantan Tengah, Dr. (H.C.) Agustin Teras Narang, S.H., M.H dalam upaya Upaya perlindungan, pengakuan dan pemberdayaan masyarakat hukum adat. Membutuhkan kolaborasi dan gerakan besar dari semua elemen masyarakat Indonesia. Sebab upaya ini memiliki tantangan besar dan berbagai kepentingan yang menyertainya.
Saya bersyukur bahwa dalam momen Diskusi bertajuk "Nilai dan Praktik Hukum Adat untuk Penyelamatan Ekosistem dan Kedaulatan Pangan", yang digelar para sahabat di Indonesia Ocean Justice Initiative, pada Senin (17/3/2025), mendapat dukungan untuk mendesak Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) di tahun 2025 ini.
Hal itu dibahas para pembuat undang-undang. Acara ini digelar bersama para sahabat dari AMAN, Yayasan KEHATI, akademisi dan melibatkan berbagai komunitas masyarakat sipil yang peduli terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.
Saya menyampaikan bagaimana tantangan dan dinamika politik dalam upaya menggolkan RUU MHA ini menjadi Undang-Undang. Ini perjuangan yang sudah berlangsung lama, dan dalam konteks legislasi berlangsung sejak 2008 lalu, namun rupanya tidak lagi terdengar gaungnya sejauh ini.
DPD RI pada usulan program legislasi nasional telah mendorong RUU MHA ini untuk didesakkan kembali pembahasan dan pengesahannya. Sebagai perwakilan daerah Kalimantan Tengah, saya dipercaya oleh pimpinan DPD RI menjadi Ketua Tim Kerja yang mendorong akselerasi RUU MHA bersama RUU lain yang menjadi prioritas bagi kemajuan daerah.
Saya sampaikan pula bagaimana ketika saya menjadi Gubernur Kalimantan Tengah "mendahului" amanah pengakuan masyarakat hukum adat di Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) yang belum turun menjadi Undang-undang. Bentuknya dengan membuat peraturan daerah hingga peraturan Gubernur yang memberdayakan elemen masyarakat adat di Kalimantan Tengah.
Lebih luas dalam konteks global, kami juga bersyukur dulu didukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menginisiasi berbagai agenda pembangunan. Termasuk inisiasi green policy, hingga Kalimantan Tengah menjadi provinsi percontohan dalam program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD++) yang dulu membuat Sekjend Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki Moon, sampai datang langsung ke Palangka Raya. Ini momen di mana Kalteng bisa masuk dan terlibat dalam perbincangan para pecinta lingkungan global yang isunya hari ini semakin relevan.
Untuk itu saya ajak semua pihak berjejaring dan membangun gerakan besar bersama guna mendukung lahirnya RUU MHA. Sebagai bagian dari tim kerja di DPD RI, saya mendorong secara khusus para akademisi dan pemerhati masyarakat adat, dengan tanpa pengecualian, untuk turut pula mendukung upaya dan gerakan ini.
Terima kasih pada Indonesia Ocean Justice Initiative yang telah menyerahkan Policy Brief atau analisis strategi dan rekomendasi kebijakan terkait RUU MHA ini kepada DPD RI melalui kami.
Sekali lagi mari berjuang bersama bagi masyarakat hukum adat, bangsa, dan negara, agar masyarakat hukum adat agar tidak hanya diakui dan dihormati, tapi juga dilindungi dan diberdayakan menurut Undang-Undang.
Kalau bukan kita, siapa lagi?
Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
(//).