PANIAI - Suara hutan Bibida pagi itu terasa sunyi dan dingin, seolah menyimpan rahasia kelam. Di balik rimbunnya pepohonan Distrik Bibida, tubuh seorang pemuda bernama Melanesia Degei (18) ditemukan terbujur kaku dengan luka-luka penyiksaan yang menggetarkan nurani. Ia bukan korban perang, melainkan korban dari keyakinannya sendiri keyakinan untuk hidup damai di tanah yang sedang bergejolak.
Menurut kesaksian warga, Melanesia sebelumnya didatangi sekelompok anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang memaksanya bergabung dalam aksi bersenjata melawan Aparat Keamanan (Apkam). Namun, dengan keberanian seorang muda yang mencintai hidupnya, ia menolak. Ia ingin tetap bersama keluarganya, bekerja di ladang, dan menikmati kedamaian sederhana yang ia percaya masih mungkin di Papua.
Penolakan itu menjadi akhir tragis bagi hidupnya. Ia diseret ke hutan, dipukuli, dan disiksa hingga nyawanya melayang. Tubuhnya ditemukan pada Jumat (31/10/2025) dengan luka-luka yang menjadi saksi bisu dari kekejaman yang dilakukan atas nama perjuangan.
“Anak muda yang ingin hidup damai malah disiksa sampai mati. Ini bukan perjuangan, ini kekejaman yang menghancurkan hati nurani, ” ujar Yulianus Gobai, tokoh masyarakat Paniai, dengan nada geram, Sabtu (01/11/2025).
“Kalau OPM masih mengaku berjuang untuk rakyat, mengapa yang mereka bunuh justru anak rakyat sendiri?”
Yulianus menegaskan bahwa peristiwa ini menjadi bukti semakin jauhnya langkah OPM dari nilai-nilai kemanusiaan. Baginya, perjuangan tanpa moral hanyalah kekerasan yang dibungkus dengan kata-kata besar.
Duka yang sama juga disampaikan Pendeta Elias Mote, tokoh gereja di Paniai. Ia menilai kematian Melanesia sebagai tanda bahwa propaganda OPM sudah kehilangan arah dan tidak lagi berpihak pada rakyat.
“OPM telah kehilangan arah perjuangan. Mereka menembak, menyiksa, dan menakuti rakyat sendiri. Ini bukan pembebasan, tapi perbudakan dalam bentuk baru, ” ucap Pendeta Elias penuh keprihatinan.
“Kita harus melindungi generasi muda agar tidak terbujuk kekerasan. Hanya perdamaian yang bisa menyelamatkan Papua.”
Aparat keamanan kini masih menyelidiki kasus ini dan memburu para pelaku yang diduga melarikan diri ke arah pegunungan. Sementara itu, keluarga korban berharap keadilan ditegakkan agar nyawa Melanesia tidak hilang sia-sia.
Kematian Melanesia Degei telah menyadarkan banyak warga bahwa senjata tidak pernah membawa kebebasan, hanya luka yang diwariskan. Dari tanah yang kini kembali berduka, rakyat Papua menyerukan satu pesan: hentikan kekerasan, hentikan darah saudara sendiri.
“Melanesia mati karena memilih damai, ” ujar seorang warga Bibida lirih. “Semoga kematiannya membuka mata kita semua, bahwa Papua tidak akan pernah merdeka bila masih saling membunuh.”
Tragedi ini bukan sekadar berita duka ia adalah cermin retak perjuangan yang kehilangan arah, dan panggilan nurani bagi semua pihak untuk mengembalikan makna sejati dari kata merdeka: hidup dalam damai, di tanah yang sama-sama kita cintai Tanah Papua.
(MN/AG)






































