PANGKEP SULSEL— Salah seorang tokoh masyarakat Dusun Parang Luara, Desa Bantimurung, Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Provinsi Sulawesi Selatan, Muh Nurdin, mengeluhkan adanya kesalahan data terkait penetapan kawasan hutan lindung di wilayahnya.
Saat ditemui di kediamannya di Parang Luara, Nurdin menuturkan bahwa sejumlah lahan sawah, pemukiman, dan kebun milik warga tiba-tiba masuk dalam data kawasan hutan lindung. Padahal, lahan tersebut telah dikelola turun-temurun oleh masyarakat setempat dan menjadi sumber mata pencaharian utama.
Menurut Nurdin, keputusan tersebut sangat membingungkan dan menimbulkan keresahan di tengah warga. “Kami heran, kok tiba-tiba tanah yang sudah kami garap puluhan tahun dan bayar pajaknya tiap tahun sekarang dikatakan hutan lindung, ” ujarnya dengan nada kesal.
Ia juga menegaskan bahwa masyarakat memiliki bukti kuat berupa SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang) dan bahkan sebagian lahan sudah memiliki sertipikat resmi dari pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa lahan tersebut telah tercatat secara sah sebagai milik warga, bukan kawasan hutan.
“Bahkan saya tunjukkan sendiri, ini sertipikat tanah saya, dan ini bukti pembayaran pajak setiap tahun. Bagaimana mungkin tanah seperti ini bisa tiba-tiba diklaim sebagai hutan lindung?” tegas Nurdin sambil memperlihatkan dokumen yang dimilikinya.
Warga khawatir, jika status ini tidak segera diklarifikasi, maka akan berdampak pada kegiatan pertanian dan pembangunan di wilayah Parang Luara. Mereka takut dilarang menanam atau membangun di atas lahan yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka.
Nurdin berharap pemerintah daerah maupun instansi terkait, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), segera melakukan verifikasi ulang terhadap data kawasan hutan lindung di wilayah Bantimurung. “Kami tidak menolak aturan, tapi tolong cek dulu dengan benar, jangan sampai rakyat jadi korban salah data, ” ujarnya.
Ia juga meminta agar pihak desa dan pemerintah kabupaten turut membantu memperjuangkan kejelasan status lahan warga. Menurutnya, persoalan ini bukan hanya menyangkut hak milik, tetapi juga menyangkut keberlangsungan ekonomi masyarakat setempat.
Warga berharap pemerintah dapat segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini secara adil dan terbuka, agar hak masyarakat atas tanah yang mereka kelola selama puluhan tahun tidak terhapus oleh data yang keliru. ( Herman Djide)





































