PROFIL - Pematang Siantar, 22 Juli 1917, menjadi saksi kelahiran seorang tokoh yang kelak dikenal sebagai 'Si Kancil' Indonesia, Adam Malik. Lahir dari pasangan Haji Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis, masa kecilnya diwarnai kecintaan pada film koboi, buku, dan fotografi. Pendidikan formalnya berlanjut hingga HIS, namun takdir membawanya memimpin toko 'Murah' warisan sang ayah, sebuah pengalaman yang justru memperkaya wawasan melalui lautan buku yang dibacanya.
Di usia muda yang produktif, Adam Malik bersama rekan-rekannya merintis lahirnya kantor berita Antara pada tahun 1937. Dengan keterbatasan yang ada, satu meja tua, satu mesin tik tua, dan satu mesin roneo tua, mereka berjuang menyuplai berita bagi surat kabar nasional. Pengalaman menulisnya di koran Pelita Andalas dan Majalah Partindo jauh sebelumnya, telah membekalinya dengan ketajaman pena yang kelak menjadi senjatanya.
Menjelang proklamasi kemerdekaan, Adam Malik tak gentar terlibat dalam gerakan pemuda. Bersama Sukarni, Chaerul Saleh, dan Wikana, ia berperan penting dalam peristiwa Rengasdengklok, sebuah langkah berani untuk mendesak Soekarno-Hatta memproklamasikan Indonesia merdeka. Ia juga menggerakkan massa dalam pertemuan akbar di Lapangan Ikada, Jakarta, untuk menunjukkan dukungan rakyat terhadap kepemimpinan nasional.
Perjalanan politiknya terukir dalam berbagai peran penting. Sebagai pimpinan Komite Van Aksi, ia terpilih menjadi Ketua III Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1947), merancang fondasi pemerintahan. Partisipasinya dalam pendirian Partai Rakyat dan Partai Murba, serta kiprahnya sebagai anggota parlemen, menunjukkan dedikasinya yang luas terhadap pembangunan bangsa.
Keahlian diplomasinya mulai bersinar di akhir tahun 1950-an saat dipercaya menjadi duta besar luar biasa untuk Uni Soviet dan Polandia. Kepiawaiannya dalam negosiasi kembali teruji ketika memimpin delegasi RI dalam perundingan penyerahan Irian Barat pada tahun 1962. Tak berhenti di situ, ia didapuk sebagai Menko Pelaksana Ekonomi Terpimpin pada 1965.
Di tengah gejolak politik yang menguatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia, Adam Malik bersama Roeslan Abdulgani dan Jenderal Nasution sempat dicap sebagai 'musuh' PKI. Namun, pergantian rezim Orde Lama justru membuka jalan baginya. Ia disebut-sebut dalam 'trio baru' Soeharto-Sultan-Malik pada tahun 1966. Keputusannya keluar dari Partai Murba karena penolakan terhadap modal asing, kemudian ia bergabung dengan Golkar.
Selama menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri II/Menlu Ad Interim dan Menlu RI dari tahun 1966 hingga 1977, Adam Malik memainkan peran krusial dalam berbagai perundingan internasional, termasuk penjadwalan ulang utang negara. Ia juga merupakan salah satu motor penggerak di balik terbentuknya ASEAN pada tahun 1967. Puncaknya, ia dipercaya memimpin Sidang Majelis Umum PBB ke-26 di New York, menjadi orang Asia kedua yang mengemban amanah prestisius tersebut.
Tahun 1977 menandai babak baru dalam kariernya ketika ia terpilih sebagai Ketua DPR/MPR, dan tiga bulan kemudian, pada Maret 1978, ia dilantik menjadi Wakil Presiden RI ke-3. Namun, peran yang lebih terbatas sebagai wakil presiden terasa kurang pas bagi jiwa aktifnya. Keresahannya terhadap feodalisme yang ia lihat dalam kepemimpinan nasional sering ia ungkapkan.
Ungkapannya yang terkenal, 'semua bisa diatur', selain menunjukkan kelincahan diplomasinya dalam menghadapi berbagai masalah, juga menjadi kritik tersirat terhadap praktik 'semua bisa diatur' dengan uang di negeri ini. Setelah pengabdian panjangnya, H. Adam Malik menghembuskan napas terakhir di Bandung pada 5 September 1984 akibat kanker lever. Warisannya abadi, diabadikan dalam Museum Adam Malik dan berbagai tanda kehormatan yang dianugerahkan pemerintah. (PERS)






































