Ali Muhtarom Akui Inisiator Vonis Lepas Kasus Korupsi Migor, Terima Rp 6,2 Miliar

4 weeks ago 16

JAKARTA - Dalam sebuah pengakuan mengejutkan di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (8/10/2025), hakim terdakwa kasus suap minyak goreng, Ali Muhtarom, buka suara. Ia mengaku sebagai inisiator utama di balik keputusan kontroversial vonis lepas atas perkara minyak goreng, sekaligus mengonfirmasi penerimaan dana sebesar Rp 6, 2 miliar terkait putusan tersebut. Pengakuan ini disampaikan Ali saat diperiksa sebagai saksi mahkota, sebuah peran di mana terdakwa memberikan kesaksian untuk terdakwa lainnya.

Ali Muhtarom membeberkan bahwa gagasan untuk menjatuhkan vonis lepas terhadap perkara korporasi minyak goreng itu justru berasal darinya. Ia menegaskan, tidak ada dorongan atau arahan dari pihak lain, termasuk Ketua Majelis Hakim Djuyamto atau hakim anggota Agam Syarief Baharudin, terkait putusan tersebut.

"Jadi yang sementara ini perdebatan ya, perbincangan mengenai onslag, itu kalau boleh jujur, memang saya harus jujur seperti yang Pak Ketua Majelis sampaikan, saya harus jujur mengatakan bahwa pikiran onslag itu malah justru dari saya. Artinya tidak ada penyampaian dari Pak Djuy atau Pak MAN selaku ketua atau Pak Agam, itu nggak ada. Artinya, dari saya murni sebagai pengonsep putusan itu, saya menyampaikan bahwa perkara ini, itu harusnya onslag, " ungkap Ali Muhtarom.

Ali menjelaskan, ide vonis lepas ini muncul dari dinamika diskusi yang terjadi selama persidangan berlangsung. Perdebatan sengit antara opsi vonis lepas atau bebas sempat terjadi antara dirinya dan hakim Djuyamto.

"Apa pertimbangannya?" tanya jaksa.

"Jadi kan kita ini kan bersidang, kemudian kan sekitar bulan September lah, September atau Oktober itu, setiap kita habis bersidang itu kan kita jalan kembali ke ruangan ya, waktu itu kan terjadi diskusi-diskusi dari keterangan ahli, dari saksi, kemudian kan kita punya pikiran nih, menyimpulkan bahwa ini arahnya keliahatannya seperti ini, itu ada penyampaian-penyampaian seperti itu. Artinya, di dalam diskusi itu menjadi dinamis ya, bahkan terakhir itu saya sampaikan Pak Djuy itu pikirannya ini bebas, sempat berdebat dengan saya, ini harusnya bebas bulan onslag, " jelas Ali.

Tak hanya mengakui sebagai inisiator putusan, Ali juga jujur mengenai penerimaan uang suap sebesar Rp 6, 2 miliar yang berkaitan erat dengan pengurusan vonis lepas perkara ini. Dana tersebut diterimanya dalam bentuk mata uang asing, dan diserahkan dalam dua tahap.

"Tadi kalau yang pertama Pak kalau kita konversi ke rata-rata rate kursnya Rp 16 ribu, itu sekitar Rp 1, 1 miliar. Kemudian yang kedua itu sekitar Rp 5, 1 miliar. Betul kan?" tanya jaksa.

"Iya, " jawab Ali.

Meskipun telah menerima uang suap tersebut, Ali Muhtarom bersikeras bahwa keputusannya untuk menjatuhkan vonis lepas tidak dipengaruhi oleh iming-iming materi. Ia menekankan bahwa keyakinan untuk memutus perkara tersebut dengan vonis lepas sudah ada sejak awal, terlepas dari adanya penerimaan uang.

"Kapan Saudara pernah mendengar bahwa perkara ini harus diputus dengan onslag?" tanya jaksa.

"Ini kan gini ya, mohon maaf. Artinya, yang saya rasakan, pikiran saya, di pikiran saya, saya tidak pernah tersandera dengan uang itu. Artinya, betul memang ada penerimaan uang, saya menerima uang dari Pak Agam maupun saya diberikan uang oleh Pak Djuy. Betul. Tetapi saya pikiran saya tidak pernah tersandera bahwa ini ada uang sekian, kemudian saya harus memutus ini menjadi onslag, saya harus menuruti kemauan orang ini, harus saya putus bebas sebenarnya nggak ada, " tegas Ali.

"Itu disampaikan nggak kepada Saudara saksi, ini pada akhirnya putusannya harus onslag?" tanya jaksa.

"Sama sekali tidak ada penyampaian bahwa ini harus diputus onslag itu, sejak awal kan saya tadi sudah saya sampaikan bahwa pikiran putusan onslag itu dari saya, " pungkas Ali.

Perlu diketahui, majelis hakim yang menjatuhkan vonis lepas ke terdakwa korporasi minyak goreng ini diketuai oleh hakim Djuyamto, dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa mendakwa ketiganya menerima suap dan gratifikasi secara bersama-sama terkait putusan tersebut. Diduga total suap yang diterima mencapai Rp 40 miliar, yang berasal dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei selaku pengacara para terdakwa.

Dana suap Rp 40 miliar itu diduga dibagi antara Djuyamto, Agam, Ali, serta dua pejabat lain: mantan Ketua PN Jakarta Selatan sekaligus mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Dalam surat dakwaan jaksa, Arif didakwa menerima Rp 15, 7 miliar, Wahyu Rp 2, 4 miliar, Djuyamto Rp 9, 5 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing meraup Rp 6, 2 miliar. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |