GQEBERHA - Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Budi Santoso, menegaskan urgensi reformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mengedepankan nilai inklusivitas dan semangat kebersamaan di antara negara-negara anggotanya. Beliau menyampaikan pandangan ini dalam forum Informal WTO Working Dinner yang diselenggarakan di Gqeberha, Afrika Selatan, pada Kamis (9/10/2025).
Menurut Budi Santoso, kedua prinsip tersebut krusial untuk menjawab berbagai tantangan besar yang kini dihadapi oleh sistem perdagangan multilateral. Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap krisis global yang telah mengikis kepercayaan publik terhadap peran WTO.
"Banyak pihak menilai bahwa lembaga ini sudah tidak relevan, padahal masalah utamanya justru terletak pada perbedaan itu, diperlukan reformasi WTO yang bersifat inklusif dan berorientasi semangat kebersamaan antarnegara anggota, " ujar Budi dalam keterangan resmi di Jakarta pada Jumat.
Mendag lebih lanjut menguraikan bahwa makna reformasi WTO harus dipahami secara komprehensif. Ini bukan sekadar upaya perbaikan pada tataran kelembagaan semata, melainkan juga mencakup pembaruan mendasar pada aturan-aturan perdagangan dan proses negosiasi agar lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika tantangan global yang terus berubah.
Budi Santoso juga menyoroti betapa pentingnya mempertahankan prinsip pengambilan keputusan yang berbasis konsensus, sembari terus mencari solusi inovatif untuk menghindari kebuntuan prosedural yang kerap terjadi.
Untuk itu, ia mengusulkan sebuah mekanisme baru: setiap negara anggota diharapkan dapat mencatat secara terbuka kepentingan nasional yang menjadi dasar penolakan terhadap suatu konsensus. Langkah ini diharapkan dapat mencegah praktik penghalangan yang bersifat taktis semata atau tidak memiliki substansi yang kuat.
Terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa, Budi Santoso mencatat adanya peningkatan jumlah kasus formal yang diajukan ke WTO dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Fakta ini memberikan catatan penting.
"Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem multilateral masih mampu bekerja bahkan dalam kondisi yang melemah. Oleh karena itu, reformasi sistem penyelesaian sengketa perlu segera dituntaskan agar dapat diterima seluruh anggota, " jelasnya.
Ia kembali menegaskan bahwa WTO bertumpu pada tiga pilar utama: pemantauan (monitoring), penyelesaian sengketa (dispute settlement), dan negosiasi. Dari ketiga pilar tersebut, pemantauan dinilai berjalan relatif baik, sementara penyelesaian sengketa dan negosiasi masih menghadapi tantangan politik yang cukup signifikan.
Budi Santoso juga mengingatkan seluruh anggota WTO untuk memfokuskan energi pada proses reformasi yang dilakukan secara bertahap. Pembenahan mendasar pada WTO harus berangkat dari kesadaran kolektif seluruh negara anggota, bukan sekadar saling menyalahkan institusi.
"WTO adalah organisasi yang digerakkan oleh anggota. Untuk itu, tanggung jawab keberhasilan atau kegagalannya ada di tangan kita sendiri, " imbuh Budi Santoso, menekankan peran aktif setiap negara dalam membentuk masa depan WTO. (PERS)








































