BUSAN - Perubahan iklim yang dipicu ulah manusia kini tengah mengancam pasokan air global secara fundamental. Sebuah studi terbaru dari Pusat Fisika Iklim IBS di Busan, Korea Selatan, mengindikasikan bahwa dunia bisa saja memasuki fase kekurangan air yang ekstrem pada tahun 2100. Namun, kekhawatiran terbesar adalah potensi terjadinya kelangkaan air yang lebih cepat dari perkiraan.
Christian Franzke, seorang ilmuwan iklim terkemuka dari IBS, bersama timnya telah melakukan pemodelan untuk memprediksi kapan fenomena kelangkaan air ekstrem atau kekeringan parah akan melanda berbagai wilayah. Fenomena ini terwujud dalam bentuk penurunan curah hujan yang berkepanjangan, menipisnya debit sungai, serta meningkatnya permintaan air yang tak terkendali.
"Pada dasarnya hari h [zero day] adalah saat wilayah atau kota kehabisan air, " jelas Franzke, mengutip Gizmodo, Selasa (30/9/2025).
Hasil penelitian yang mengerikan menunjukkan bahwa sekitar 74% wilayah rawan kekeringan di seluruh dunia, bahkan yang memiliki waduk besar, berisiko tinggi mengalami kekeringan parah dan berkelanjutan jika skenario emisi tinggi terus berlanjut. Lebih mengkhawatirkan lagi, 35% wilayah diperkirakan akan menghadapi kelangkaan air jauh lebih cepat, yaitu pada tahun 2030 mendatang.
Implikasi dari temuan ini sangat mengerikan. Setidaknya 753 juta orang secara global terancam kerentanan terhadap kelangkaan air ekstrem. Dari jumlah tersebut, 467 juta orang berasal dari wilayah perkotaan, yang seringkali bergantung pada pasokan air yang kompleks dan rentan terhadap gangguan.
Franzke menambahkan bahwa rentang waktu terjadinya krisis ini bisa jadi lebih pendek dari proyeksi awal. Hal ini akan membatasi waktu yang tersedia untuk pemulihan dan justru memperburuk risiko kelangkaan air itu sendiri. Bayangkan betapa gentingnya situasi ketika pasokan air vital mulai menipis, meninggalkan masyarakat dalam ketidakpastian.
Daerah-daerah yang diprediksi akan terdampak paling parah mencakup wilayah strategis seperti Amerika Serikat bagian barat, kawasan Mediterania, Afrika Utara, Afrika Selatan, India, China Utara, dan Australia. Wilayah-wilayah ini akan menjadi garda terdepan menghadapi konsekuensi nyata dari perubahan iklim yang kita ciptakan.
Meskipun demikian, Franzke menekankan bahwa temuan ini adalah sebuah proyeksi, bukan ramalan pasti. Model yang mereka kembangkan bertujuan memberikan gambaran tentang potensi perubahan iklim di masa depan dan dampaknya. Namun, ia mengakui adanya elemen kejutan yang signifikan.
"Namun kami terkejut betapa cepat ini mungkin terjadi, " ungkapnya. (PERS)














































