JAYAPURA - Di tengah upaya pemerintah membangun Papua secara inklusif dan damai, kelompok separatis bersenjata yang tergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) justru kembali menuai kecaman luas. Kali ini, sorotan tertuju pada juru bicara OPM, Sebby Sambom, yang dinilai lebih sibuk menyebar propaganda dari kejauhan ketimbang hadir secara nyata membela rakyat Papua yang diklaim sebagai dasar perjuangannya.
Sejumlah tokoh masyarakat dan pengamat keamanan menilai bahwa narasi perjuangan yang terus digelorakan oleh Sebby Sambom semakin jauh dari kenyataan di lapangan. Alih-alih membawa kesejahteraan, OPM justru dinilai memperpanjang penderitaan rakyat Papua lewat serangkaian aksi kekerasan, penyanderaan, pemalakan, dan penolakan terhadap pembangunan.
“Saya tidak melihat sedikitpun niat dari Sebby atau OPM untuk benar-benar membela rakyat. Mereka justru menambah beban rakyat dengan memaksa ikut mendukung gerakan separatis sambil menolak semua bentuk kemajuan, ” ujar seorang tokoh adat dari Yahukimo yang meminta identitasnya dirahasiakan, Selasa (15/4/2025).
Banyak pihak juga mempertanyakan **keaslian perjuangan Sebby Sambom**, mengingat ia lebih sering berada di luar negeri, jauh dari penderitaan warga Papua yang katanya ia wakili. Keberadaannya yang jauh dari zona konflik dianggap membuat narasi perjuangannya tak lebih dari teori kosong yang menyesatkan opini publik global.
Dr. Marthen Wonda, pengamat politik dan keamanan dari Universitas Cenderawasih, menilai keberadaan Sebby seperti pisau bermata dua:
“Ia berbicara dari tempat aman, tapi dampaknya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di daerah konflik. Ini bentuk ironi besar tokoh perjuangan yang tak hadir di medan perjuangan.”
Sementara itu, data di lapangan menunjukkan bahwa berbagai aksi OPM justru memperparah kondisi sosial ekonomi warga, terutama di daerah pedalaman yang sangat bergantung pada akses pembangunan pemerintah. Proyek-proyek infrastruktur dan pelayanan publik kerap menjadi sasaran sabotase oleh kelompok separatis, membuat masyarakat lokal kehilangan kesempatan untuk hidup lebih layak.
Ironisnya, di balik narasi perjuangan kemerdekaan, masyarakat Papua justru menjadi korban utama. Mereka yang katanya diperjuangkan, malah semakin terjepit oleh ketakutan dan kemiskinan yang terus dipelihara oleh konflik tak berujung. (APK/Red1922)