Buya Hamka: Sang Maestro Sastra dan Ulama Kharismatik Indonesia

2 hours ago 1

PROFIL - Siapa yang tak kenal dengan kisah pilu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk? Di balik layar film yang menyentuh hati itu, berdiri seorang maestro sastra Indonesia, Buya Hamka. Beliau bukan sekadar penulis novel populer, melainkan juga seorang ulama kharismatik yang pemikirannya mendalam, seorang intelektual otodidak yang karyanya terus dihargai lintas generasi. Mari kita selami kisah perjalanan hidupnya, dari kampung halamannya di Sumatera Barat hingga menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh di Indonesia.

Lahir pada tahun 1908 di Desa Kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, nama asli Buya Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau adalah putra dari Syekh Abdul Karim bin Amrullah, seorang ulama terkemuka di ranah Minang. Sejak muda, bakatnya sudah terasah. Ia memulai karier sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan, sebelum kemudian mengajar di Padang Panjang pada tahun 1929.

Perjalanan akademisnya berlanjut dengan peran penting di dunia pendidikan tinggi. Hamka dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta, dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang, pada periode 1957-1958. Tak berhenti di situ, beliau juga dipercaya menjabat sebagai rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, dan menjadi Profesor di Universitas Mustopo, Jakarta.

Dedikasi Buya Hamka pada negara juga tak terlepas. Dari tahun 1951 hingga 1960, beliau mengemban amanah sebagai Pegawai Tinggi Agama di bawah Kementerian Agama Indonesia. Namun, panggilan jiwanya yang kuat untuk berbakti melalui jalur lain membuatnya mengambil keputusan berani. Ia rela melepaskan jabatannya ketika Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau aktif dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Kejeniusan Buya Hamka sungguh luar biasa. Ia adalah sosok otodidak yang menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan, mulai dari filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, hingga politik, baik dalam perspektif Islam maupun Barat. Kemahiran berbahasa Arabnya yang mumpuni membuka gerbang pengetahuannya pada karya-karya ulama dan pujangga besar Timur Tengah, seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Tak hanya itu, beliau juga mendalami karya sarjana dari Perancis, Inggris, dan Jerman, memperkaya wawasannya secara global.

Interaksinya dengan para tokoh intelektual terkemuka di Jakarta, seperti HOS Cokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur, dan Ki Bagus Hadikusumo, turut mengasah bakat pidatonya hingga menjadi seorang orator ulung yang mampu memukau pendengarnya.

Peran Buya Hamka dalam organisasi Muhammadiyah sangatlah sentral. Sejak tahun 1946, beliau dipercaya memimpin Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto. Pada tahun 1953, kiprahnya kembali diakui dengan dipilihnya beliau sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Puncak pengakuan datang pada 26 Juli 1977, ketika Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik Buya Hamka sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Namun, integritas dan prinsipnya kembali diuji. Beliau memilih mengundurkan diri pada tahun 1981 karena merasa nasihatnya tidak didengarkan oleh pemerintah Indonesia, sebuah bukti keteguhan pendiriannya.

Di samping peranannya sebagai ulama dan intelektual, Buya Hamka juga merupakan seorang pekerja media yang produktif. Sejak tahun 1920-an, beliau aktif sebagai wartawan untuk berbagai surat kabar ternama seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Profesi sebagai editor juga dijalaninya, mengedit majalah Kemajuan Masyarakat pada tahun 1928, dan mendirikan serta menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar pada tahun 1932. Majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam pun pernah merasakan sentuhan editiorialnya.

Karya-karya Buya Hamka meliputi spektrum luas, dari kajian ilmiah Islam hingga karya sastra yang memikat hati. Salah satu karya ilmiahnya yang paling monumental adalah Tafsir al-Azhar. Sementara itu, novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli tidak hanya meraih popularitas luar biasa, tetapi juga menjadi bacaan wajib dan buku teks sastra di Malaysia dan Singapura, membuktikan jangkauan pengaruhnya yang luas. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |