Dewas BPJS Kesehatan Siruaya Utamawan Serap Aspirasi JKN , Empat Isu Strategis Jadi Sorotan

1 month ago 24

Jakarta - Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan, melalui Anggota Dewas Siruaya Utamawan, memimpin langsung forum "Serap Aspirasi Stakeholders atas Dinamika Kebijakan Program JKN" di Bandar Lampung pada Kamis (22/10/2025). Acara ini menjadi panggung krusial untuk mendengarkan langsung berbagai masukan dan keluh kesah dari para pemangku kepentingan terkait implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Empat isu strategis yang menjadi pusat perhatian dalam forum ini adalah kesiapan implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), sistem rujukan berbasis kompetensi, implementasi Rekam Medis Elektronik (RME) untuk klaim, serta rencana perubahan tarif INA-CBGs menjadi iDRG. Sorotan tajam diberikan pada tantangan dan potensi kendala di lapangan, mencerminkan kompleksitas program JKN yang menyentuh jutaan masyarakat.

Dalam sambutannya, Siruaya Utamawan menekankan pentingnya forum ini sebagai wadah terbuka untuk menampung aspirasi. "Kami harap gunakan kesempatan ini, sampaikan saja keluh kesah, tanpa perlu ragu. Di sini ada Pak Niko (DJSN) yang akan memberi rekomendasi kepada Presiden terkait penyusunan kebijakan, " ujar Siruaya.

Siruaya mengakui adanya resistensi terkait KRIS, seperti kekhawatiran penurunan jumlah tempat tidur dan penolakan peserta terhadap konsep kelas tunggal. Namun, ia juga mengapresiasi inisiatif Lampung yang telah mencapai 100% bridging RS untuk RME, sebuah pencapaian penting di tengah isu digitalisasi yang masih menjadi pekerjaan rumah di daerah lain.

Nikodemus Purba dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) turut hadir dan menegaskan bahwa masukan dari regional sangat vital mengingat adanya usulan revisi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Jaminan Kesehatan yang baru.

Implementasi KRIS menjadi agenda utama diskusi. Ketua PERSI Lampung, dr. Arief Yulizar, menyatakan kesiapan rumah sakit secara prinsip, namun ia memprediksi tantangan terbesar datang dari persepsi peserta. "Peserta yang selama ini berada di Kelas 1, yang terbiasa dengan kamar berisi dua tempat tidur (TT), kini harus menerima standar baru KRIS, yaitu satu ruangan diisi maksimal empat tempat tidur. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan penolakan karena dianggap sebagai penurunan kenyamanan, " jelasnya.

Pertanyaan mengenai kesiapan rumah sakit itu sendiri juga mengemuka. Direktur RS Airan Raya, dr. Zuchrady, mengusulkan peninjauan kembali KRIS dengan opsi perbedaan kelas namun tetap memenuhi 12 indikator standar wajib. "Biaya renovasi pemenuhan 12 indikator itu cukup tinggi. Sementara 80-95% pasien di RS swasta adalah JKN, " keluhnya.

Kekhawatiran serupa datang dari perwakilan pekerja. Hefrianto dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menyatakan, "Jangan sampai regulasi membebani kami (pekerja) sementara upah masih rendah. Takut mutu layanannya jadi turun, " ujarnya.

Isu rujukan berbasis kompetensi juga menuai perhatian. dr. Arief Yulizar khawatir sistem ini dapat mencederai konsep managed care BPJS Kesehatan, menyebabkan pasien menumpuk di rumah sakit "Paripurna" sementara rumah sakit "Dasar" menjadi sepi. Ia juga menyoroti kesulitan pemenuhan kriteria untuk naik ke kompetensi Madya. "Kriteria untuk naik ke Madya sangat sulit, termasuk CT Scan harus 64 slice. RSUD bisa mengajukan ke negara, swasta sangat sulit. Harapannya kriteria jangan terlalu berat, " tuturnya.

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung menambahkan bahwa distribusi SDM dokter spesialis masih belum merata, terpusat di Bandar Lampung dan minim di kabupaten seperti Krui. Ketua IDI Lampung, dr. Aditya, menawarkan solusi kolaboratif, "Masalahnya di distribusi. Mungkin bisa dibuat mapping antar RS di sini (Bandar Lampung), sehingga bisa saling melengkapi kompetensi dan rujukan lebih smooth, " usulnya.

Rencana perubahan tarif ke iDRG menimbulkan keresahan akibat ketidakpastian. "Ada simulasi tapi sampai sekarang angkanya belum kelihatan. Bagaimana RS mau mengejar fasilitas (kompetensi Madya), jika belum tahu potensi pendapatannya? RS jadi maju mundur, " keluh dr. Arief Yulizar.

Ketua ARSSI Lampung, dr. Daniel Novian, menekankan perlunya regulasi yang jelas dari regulator sebelum implementasi. "Kami harus mengajukan ke owner, nanti pasti ditanyai (potensi pendapatannya), " katanya. Direktur RS Airan Raya, dr. Zuchrady, berharap minimal tarif tidak mengalami penurunan.

Terkait RME, selain kesiapan teknis, kekhawatiran muncul dari aspek hukum kerahasiaan data pribadi pasien, seperti yang dipertanyakan oleh dr. Arief Yulizar. Dr. Daniel Novian juga menyoroti beban biaya Tanda Tangan Elektronik (TTE) yang dibebankan kepada RS swasta, "Kalau pemerintah (Tanda Tangan Elektronik) digratiskan, swasta harus bayar. Ini jadi cost tambahan bagi kami, " keluhnya.

PDGI Lampung turut menyuarakan isu kelangkaan dokter gigi spesialis di kabupaten dan tarif klaim yang dianggap tidak lagi relevan dengan kenaikan biaya operasional.

Menanggapi berbagai masukan, Nikodemus Purba dari DJSN menyatakan bahwa KRIS merupakan amanat undang-undang dan DJSN akan segera membahas besaran iuran, serta meminta uji coba rujukan kompetensi minimal enam bulan.

Siruaya Utamawan menutup diskusi dengan merangkum aspirasi. "Kesimpulannya, program yang baik kita dukung, " ujarnya. Ia menyimpulkan bahwa KRIS disetujui dengan catatan tidak mengabaikan mutu layanan dan tidak harus menjadi kelas tunggal. Terkait rujukan kompetensi dan iDRG, pendapatan RS minimal tidak boleh lebih rendah dari sekarang. "Tarif iDRG harapannya dihitung secara komprehensif. Untuk RME, kita setuju, tetapi perlu diperhatikan kerahasiaan data pasien, " pungkas Siruaya.***

Read Entire Article
Karya | Politics | | |