OPINI - Di tengah gembar-gembor wacana efisiensi dan transparansi anggaran, warga Barru justru dikejutkan oleh kebijakan yang kontradiktif. Pada APBD Perubahan 2025, anggaran untuk operasional kepala daerah dan wakil kepala daerah melonjak tajam dari Rp 3, 8 miliar menjadi Rp 6, 0 miliar. Ini berarti kenaikan sekitar Rp 2, 1 miliar atau setara 57, 28%.
Tak berhenti di situ, dana penunjang operasional juga ikut naik drastis dari Rp 2, 6 miliar menjadi Rp 4, 9 miliar bertambah Rp 2, 2 miliar atau 85, 43%.
Pertanyaannya sederhana:
Di mana keberpihakan kepada rakyat Barru yang masih bergelut dengan harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik?
Bagaimana dengan mereka yang kesulitan membayar iuran BPJS?
Atau para siswa dan mahasiswa yang menanti bantuan beasiswa?
Apa kabar infrastruktur yang rusak dan belum tersentuh pembangunan?
Dan bagaimana nasib para pencari kerja yang masih berjuang dalam keterbatasan lapangan kerja?
Kenaikan anggaran operasional pejabat ini memberi kesan bahwa semangat efisiensi hanyalah slogan di atas kertas sekadar instruksi Presiden yang tidak dijalankan secara konkret dalam kebijakan anggaran daerah.
Alih-alih mempertebal fasilitas pejabat, seharusnya pemerintah daerah menunjukkan empati fiskal yakni keberanian untuk mengedepankan kebutuhan mendesak masyarakat di atas kepentingan kenyamanan elite birokrasi.
Lalu, di mana suara para aktivis?
Di mana keberanian moral dan integritas para tokoh sipil yang selama ini mengklaim berpihak kepada rakyat?
Apakah mereka juga mulai nyaman dalam diam?
Kami berharap ada evaluasi mendalam terhadap kebijakan ini, dan mendorong semua elemen masyarakat, terutama aktivis dan tokoh publik Barru, untuk kembali bersuara bukan hanya saat momentum politik, tapi terutama ketika keadilan sosial sedang diuji.
Oleh Ketua DPC Ormas Laki Barru,
Andi Agus Gengkeng








































