Dokter untuk Masalah Hukum: Apakah Pengacara Kita Sudah Layak Dipercaya

1 hour ago 1

Palu, 24 September 2025 –Tulisan Dr.Egar Mahesa., SH., MH., C.DM., C.MED., CPArb, “Pengacara adalah Dokter Hukum untuk Ketenangan Hidup Kita”, ibarat pisau bedah yang tepat mengiris sebuah persoalan klasik: jarak yang masih menganga antara masyarakat awam dengan profesi advokat. Analogi "dokter hukum" yang diusungnya bukan sekadar retorika, melainkan sebuah lensa kritis untuk memaknai ulang peran pengacara di Indonesia yang sering kali disempitkan hanya pada ruang sidang.

Melampaui Citra "Juru Selamat di Pengadilan"

Opini tersebut berhasil menggeser narasi yang selama ini melekat. Pengacara sering kali baru dicari ketika masalah hukum sudah membesar, bak pemadam kebakaran yang dipanggil saat api sudah membesar. Padahal, esensi utama justru ada pada fungsi preventif-nya.

Seperti halnya kita berkonsultasi ke dokter untuk cek kesehatan rutin dan pencegahan penyakit, konsultasi hukum sejak dini dengan pengacara dapat menghindarkan kita dari "penyakit" hukum yang lebih parah. Di sinilah letak "investasi" yang dimaksud penulis. Biaya konsultasi awal, yang sering dianggap mahal, sebenarnya tidak sebanding dengan potensi kerugian materiil dan immateriil yang bisa timbul dari kesalahan prosedur atau ketidaktahuan hukum.

Tantangan yang Harus Dijawab oleh Profesi Hukum Sendiri

Namun, sebagai jurnalis, kita harus melihat lebih jauh. Analogi yang elegan ini menghadapi tembok realita. Stigma "mahal" dan "rumit" yang disebut Dr. Egar bukanlah persepsi kosong. Masih banyak masyarakat yang trauma dengan pengacara "nakal" yang menjanjikan kemenangan namun berujung pada pembiayaan yang membengkak tanpa kejelasan. Literasi hukum masyarakat yang rendah sering kali dimanfaatkan oknum tertentu.

Oleh karena itu, tantangan terbesarnya justru ada di internal profesi hukum sendiri. Bagaimana membangun kepercayaan (trust) bahwa pengacara adalah mitra, bukan sekadar penyedia jasa yang transaksional.

Transparansi biaya, penjelasan yang mudah dipahami klien (tanpa jargon hukum yang membingungkan), dan pendekatan yang empatik adalah kunci untuk mewujudkan analogi "dokter tepercaya" ini. Lembaga-lembaga advokat seperti PERADI dituntut untuk lebih aktif dalam melakukan pengawasan dan sosialisasi standar perilaku profesi.

Kontekstualisasi di Era Digital

Di era banjir informasi digital, peran pengacara sebagai "konsultan tepercaya" menjadi semakin krusial. Masyarakat mudah sekali mengakses informasi hukum secara daring, namun sering kali informasi tersebut tidak utuh, sudah kedaluwarsa, atau bahkan menyesatkan.

Di sinilah pengacara berperan sebagai "filter" dan pemandu yang sah. Mereka mampu membedakan antara informasi yang valid dan hoaks hukum, serta memberikan nasihat yang kontekstual dengan kondisi spesifik klien, sesuatu yang tidak bisa diberikan oleh artikel daring umum.

Kesimpulan: Sebuah Seruan Kolaborasi

Pandangan Dr. Egar Mahesa adalah seruan yang tepat waktu. Ia mengingatkan kita bahwa membangun ketenangan hidup membutuhkan kepastian hukum, dan kepastian hukum membutuhkan pendampingan ahli. Namun, untuk mewujudkannya, diperlukan kolaborasi.

Pertama, dari sisi pengacara: teruslah membangun integritas dan meningkatkan pendekatan kepada masyarakat. Kedua, dari sisi masyarakat: mulailah menggeser pola pikir dari melihat pengacara sebagai "biaya" menjadi "investasi" perlindungan masa depan.

Dan ketiga, dari sisi media dan jurnalis: tugas kitalah untuk mendorong literasi hukum publik dengan memberitakan profesi ini secara proporsional, tidak hanya saat ada kasus sensasional, tetapi juga dengan mengedukasi tentang pentingnya konsultasi hukum preventif.

Pada akhirnya, ketika pengacara benar-benar dapat diakses dan dipercaya layaknya dokter keluarga, maka cita-cita "ketenangan hidup" melalui kepastian hukum bukanlah sekadar impian.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |