Dugaan Kejanggalan di Balik Sewa Lahan Murah PT IHIP: Ada Apa dengan Pemkab Luwu Timur?

1 day ago 5

LUWU TIMUR — Di balik deru industri yang tengah tumbuh di Kabupaten Luwu Timur, tersimpan polemik serius tentang pengelolaan aset daerah.

Sebuah perjanjian sewa lahan antara Pemerintah Kabupaten Luwu Timur dan PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP) kini menuai sorotan tajam, setelah publik menilai harga sewanya jauh di bawah kewajaran.

Data yang beredar menunjukkan, lahan seluas 394, 5 hektare milik Pemkab Luwu Timur—yang merupakan kompensasi dari pembangunan dam Karebbe oleh PT INCO—disewakan kepada PT IHIP dengan nilai Rp4, 45 miliar untuk lima tahun.

Jika dihitung-hitung, harga sewanya hanya sekitar Rp226 per meter persegi per tahun, atau tidak sampai Rp1 per meter persegi per hari.

Perhitungan sederhana ini mengundang tanda tanya besar: bagaimana mungkin lahan strategis seluas itu disewakan dengan nilai serendah itu kepada perusahaan industri besar?

Nilai Sewa Tak Masuk Akal

Perbandingan dengan tarif sewa di sektor swasta memperlihatkan kontras yang mencolok.

Di wilayah yang sama, sebuah perusahaan telekomunikasi disebut membayar Rp80 juta untuk masa sewa 20 tahun atas lahan seluas 25 x 25 meter.

Nilai itu setara Rp6.400 per meter persegi per tahun—sekitar 28 kali lipat lebih mahal dibandingkan tarif yang diberikan kepada PT IHIP.

“Kalau benar nilainya segitu, ini bukan lagi tidak wajar, tapi janggal. Aset publik jangan diperlakukan seperti lahan pribadi, ” ujar salah seorang warga Desa Harapan, Kecamatan Malili, saat ditemui usai aksi di DPRD Luwu Timur, Senin (20/10/2025).

Kecurigaan warga bertambah karena hingga kini belum ada penjelasan resmi dari Pemkab Luwu Timur maupun PT IHIP soal bagaimana harga sewa itu ditetapkan.

Dugaan Pelanggaran Prosedur Penetapan Nilai

Dalam penelusuran tim media, penetapan harga sewa aset daerah seharusnya dilakukan berdasarkan penilaian independen (appraisal) yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33 Tahun 2012 dan Standar Penilaian Indonesia (SPI).

Tim appraisal wajib menilai berdasarkan tiga pendekatan: pasar, pendapatan, dan biaya, dengan mempertimbangkan lokasi, potensi ekonomi, dan jangka waktu pemanfaatan lahan.

Namun, sumber internal di lingkungan Pemkab menyebut, belum ditemukan laporan resmi hasil appraisal yang menjadi dasar kesepakatan dengan PT IHIP.

Jika benar tidak ada appraisal, maka kesepakatan itu berpotensi melanggar prinsip tata kelola aset dan bisa menimbulkan kerugian daerah.

Seorang pejabat di DPRD Luwu Timur yang enggan disebut namanya menyatakan, lembaganya akan segera meminta audit forensik terhadap transaksi tersebut.

“Kami ingin tahu dasar hukumnya, siapa yang menilai, dan berapa nilai pasarnya. Kalau ada selisih besar, berarti ada potensi kerugian, ” ujarnya sembari meminta identitasnya dirahasikan.

Warga Desak Audit BPK

Aliansi Masyarakat Luwu Timur, gabungan sejumlah kelompok masyarakat dan mahasiswa, kini menjadikan kasus ini sebagai tuntutan utama.

Mereka mendesak DPRD dan pemerintah daerah menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk mengaudit keseluruhan proses penyewaan.

“Ini bukan sekadar soal uang, tapi soal tanggung jawab moral. Aset daerah harus dikelola dengan jujur dan terbuka, ” kata seorang orator aksi.

Menurut mereka, audit BPK akan menjadi jalan tengah untuk mengungkap apakah ada kelalaian administratif, penyelewengan, atau kesalahan teknis dalam perjanjian sewa lahan tersebut.

Pemerintah Bungkam, Publik Makin Curiga

Sampai saat ini, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur belum memberikan klarifikasi terbuka. Begitu pula dengan PT IHIP, yang memilih tidak berkomentar.

Keduanya belum menampilkan dokumen Memorandum of Understanding (MoU) maupun perjanjian kerja sama (PKS) yang menjadi dasar penyewaan.

Ketiadaan informasi ini menimbulkan kesan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

“Kalau semuanya sah dan sesuai aturan, tidak ada alasan untuk menutup-nutupi. Publik berhak tahu, ” tegas salah satu tokoh masyarakat Malili.

Potensi Kerugian dan Krisis Kepercayaan

Pengamat kebijakan publik menilai, kasus ini mencerminkan lemahnya transparansi dalam pengelolaan aset publik di daerah.

Menurutnya, ketika sebuah lahan besar disewakan dengan harga di bawah kewajaran tanpa kejelasan dasar hukum, potensi kerugian daerah tak bisa diabaikan.

“Setiap rupiah yang hilang karena kelalaian birokrasi adalah kerugian bagi rakyat. Pemerintah harus berani membuka data dan melibatkan publik, ” ujar seorang analis kebijakan dari Universitas Hasanuddin.

Ia menambahkan, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah bisa muncul jika pola seperti ini terus berulang tanpa koreksi.

Tuntutan Reformasi Tata Kelola Aset Daerah

Polemik sewa lahan PT IHIP kini menjadi ujian bagi Pemkab Luwu Timur untuk menunjukkan komitmen terhadap prinsip good governance.

Keterbukaan data, audit publik, dan evaluasi terhadap seluruh kerja sama pemanfaatan aset daerah perlu segera dilakukan.

Selama dokumen MoU dan hasil appraisal belum dibuka ke publik, pertanyaan besar akan tetap menggantung: Apakah harga sewa itu hasil kajian objektif, atau ada kepentingan lain di baliknya?

Read Entire Article
Karya | Politics | | |