MAKASSAR – Kebijakan Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) yang tak kunjung meresmikan pemberhentian seorang anggota DPRD Kabupaten Barru yang terjerat kasus asusila menuai sorotan tajam.
Keterlambatan ini bukan hanya melanggar batas waktu yang ditetapkan undang-undang, tetapi juga dianggap sebagai ancaman serius terhadap integritas tata kelola pemerintahan di Sulawesi Selatan.
Penundaan penerbitan Surat Keputusan (SK) Peresmian Pemberhentian Anggota DPRD Barru ini dinilai melanggar secara eksplisit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 109 ayat (7).
Pasal tersebut mewajibkan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk meresmikan pemberhentian anggota DPRD Kabupaten/Kota paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten/Kota atau keputusan pimpinan partai politik.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa Surat Bupati Barru Nomor :100.1.4.4/3059/pemerintahan mengenai penyampaian Keputusan BK DPRD Barru untuk peresmian pemberhentian telah dikirim sejak 24 September 2025.
Bahkan, Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Surat Nomor : 170/12719/biro pemotda tanggal 1 September 2025 di bagian kesimpulan poin 4 telah menegaskan bahwa gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan BK tidak dapat menunda dilaksanakannya Keputusan tersebut.
Dengan adanya dokumen resmi tersebut, Gubernur Sulsel seharusnya telah menerbitkan SK Peresmian Pemberhentian, mengingat kasus ini adalah kasus asusila yang telah mencoreng nama baik lembaga legislatif dan eksistensi Kabupaten Barru sebagai 'Kota Santri'.
Pengamat Tata Kelola Pemerintahan, Dr. Ahmad Basir, menegaskan bahwa keterlambatan ini sangat berbahaya dan telah melampaui batas masalah administrasi biasa.
"Ini bukan lagi masalah administrasi biasa. Ini adalah ujian integritas Pemprov Sulsel. Keputusan BK DPRD Barru adalah langkah positif untuk membersihkan lembaga. Jika Gubernur mengulur waktu, ini bisa diartikan sebagai sinyal dukungan tidak langsung terhadap pelanggaran etika dan moral, " tegas Dr. Ahmad Basir, pada Kamis (16/10/2025).
Langkah tegas dari BK DPRD Barru untuk menindak pelanggaran moral dan kode etik seharusnya mendapat dukungan penuh, namun sikap Gubernur yang terkesan 'menggantung' keputusan memunculkan kekhawatiran publik.
"Jika kasus ini tidak dituntaskan dengan cepat dan tegas, ini akan memberikan preseden yang sangat buruk, seolah-olah penegakan hukum di lingkup pemerintahan daerah bisa dilemahkan. Kepercayaan publik terhadap integritas pejabat dan lembaga legislatif akan terkikis, " lanjutnya.
Menurut Ahmad Basir, penundaan yang melanggar batas waktu UU ini memicu sejumlah pertanyaan mendasar tentang kondisi penegakan hukum dan moralitas di Sulawesi Selatan.
Apakah Indonesia masih negara hukum yang menempatkan hukum sebagai panglima? Keterlambatan ini menimbulkan keraguan atas ketaatan pemerintah daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ada apa dengan Gubernur Sulsel? Tindakan mengulur waktu di tengah kasus asusila yang merusak moral publik menimbulkan pertanyaan tentang motivasi di balik penundaan tersebut.
Adakah oknum pejabat yang sedang "bermain"? Keraguan muncul bahwa penundaan ini merupakan hasil dari intervensi atau lobi politik pihak-pihak tertentu.
Apakah hukum dapat dibeli bagi mereka yang punya uang dan kekuasaan? Kasus ini menjadi tolok ukur apakah keadilan akan ditegakkan atau akan tunduk pada kekuatan finansial dan kekuasaan.
"Kemana perginya nilai-nilai religi, budaya siri' (malu/harga diri), dan moral yang dianut dan dijaga selama ini? Kasus moral yang tertunda penyelesaiannya ini dianggap merusak sendi-sendi budaya dan moral masyarakat Sulsel", tutup Ahmad Basir.
Publik menanti langkah cepat dan tegas dari Gubernur Sulsel untuk segera menerbitkan SK Peresmian Pemberhentian demi memulihkan supremasi hukum dan integritas moral dalam pemerintahan daerah.