Gugat Pensiun DPR, Warga: Kami Harus Menabung, Mereka Langsung Dapat

3 hours ago 3

JAKARTA - Perjuangan hak-hak yang dirasa timpang kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK). Dua warga negara, Lita Linggayani Gading dan Syamsul Jahidin, telah mengajukan permohonan untuk menghapus hak pensiun bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Gugatan bernomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 ini terdaftar pada situs MK, Rabu (1/10/2025), dan menyoroti sejumlah pasal krusial dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Inti dari gugatan ini terletak pada status anggota DPR yang dipersoalkan sebagai anggota lembaga tinggi negara. Menurut para pemohon, status tersebutlah yang membuka pintu bagi anggota DPR untuk menikmati uang pensiun setelah masa baktinya di parlemen berakhir, sebuah kenyataan yang mereka anggap tidak adil.

Para pemohon merasa miris, aturan yang berlaku memungkinkan anggota DPR menerima pensiun seumur hidup, meskipun hanya mengemban amanah rakyat selama satu periode atau lima tahun. Hal ini sangat bertolak belakang dengan nasib para pekerja pada umumnya.

"Tidak seperti pekerja biasa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia tetap berhak atas uang pensiun meski hanya menjabat satu periode alias lima tahun. Hak ini dijamin UU Nomor 12 Tahun 1980, " ujar para pemohon dalam gugatannya.

Aturan tersebut, menurut pemohon, menetapkan besaran pensiun pokok dihitung berdasarkan persentase dari dasar pensiun untuk setiap bulan masa jabatan. Besaran pensiun pokok ini minimal 6 persen dan maksimal 75 persen dari dasar pensiun. Ditambah lagi, surat Menteri Keuangan nomor S-520/MK.02/2016 dan Surat Edaran Setjen DPR nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 mengindikasikan bahwa pensiun DPR bisa mencapai sekitar 60 persen dari gaji pokok.

Tak hanya aliran dana pensiun bulanan, para pemohon juga menyoroti Tunjangan Hari Tua (THT) sebesar Rp 15 juta yang dibayarkan sekali. Perbandingan yang diajukan pun semakin tajam.

"Rakyat biasa harus menabung lewat BPJS Ketenagakerjaan atau program pensiun lain yang penuh syarat, anggota DPR justru mendapat pensiun seumur hidup hanya dengan sekali duduk di kursi parlemen, " tegas para pemohon.

Mereka menambahkan, skema pensiun parlemen di negara lain umumnya mempertimbangkan lama masa jabatan, usia, dan kontribusi. Namun di Indonesia, prosesnya dianggap terlalu mudah, sehingga berujung pada pemberian privilese atau hak istimewa bagi pejabat dengan masa jabatan yang relatif singkat.

Perbandingan lebih lanjut dilakukan dengan membandingkan syarat pensiun anggota DPR dengan lembaga pemerintah lain. Hakim Mahkamah Agung, Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI, anggota Polri, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) baru berhak menerima pensiun setelah minimal 10 hingga 35 tahun masa kerja.

Perhitungan para pemohon mengungkap beban finansial yang cukup besar bagi negara. Sejak UU 12/1980 diundangkan hingga 2025, diperkirakan ada 5.175 orang yang menjadi penerima manfaat pensiun anggota DPR RI. Total beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang timbul diperkirakan mencapai Rp 226.015.434.000, atau sekitar Rp 226 miliar.

Para pemohon merasa dirugikan secara finansial, mengingat uang pajak yang mereka bayarkan turut berkontribusi pada pembayaran pensiun anggota DPR ini.

"Bahwa dengan manfaat pensiun yang diterima oleh DPR RI maka sangat membebani beban APBN: Rp 226.015.434.000. Bahwa dengan hal ini kerugian sangat nyata timbul yang dialami Pemohon I dan Pemohon II karena beban pajak yang digunakan untuk membayar pensiun tidak tepat, " keluh para pemohon.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 UU 12/1980 dinyatakan bertentangan bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Lembaga Tinggi Negara dan anggotanya tidak termasuk anggota DPR. Mereka juga memohon agar putusan ini dimuat dalam Berita Negara RI. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |