POLITIK - Dalam beberapa waktu terakhir, tuntutan untuk mengadili Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin ramai disuarakan, baik di media sosial, ruang diskusi politik, maupun dalam pemberitaan media massa. Fenomena ini mencerminkan dinamika politik yang berkembang di Indonesia, di mana kritik terhadap kepemimpinan menjadi bagian dari proses demokrasi. Namun, apa yang menyebabkan seruan ini menjadi begitu masif, dan di mana saja wacana ini berkembang?
1. Latar Belakang Tuntutan
Tuntutan untuk mengadili Jokowi tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor yang menjadi pemicunya, di antaranya:
Dugaan Penyalahgunaan Kekuasaan: Beberapa kritik menyebut bahwa Jokowi terlalu jauh mencampuri urusan politik, termasuk dugaan adanya intervensi dalam pemilu 2024 untuk mendukung kandidat tertentu.
Dinamika Pemilu 2024: Pemilu yang dianggap penuh kontroversi, dengan tudingan adanya kecurangan, manipulasi hukum, dan penggunaan institusi negara untuk kepentingan politik, menjadi salah satu faktor utama yang memicu protes.
Kritik terhadap Kebijakan Ekonomi dan Sosial: Kenaikan harga bahan pokok, ketimpangan sosial, serta kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil juga menjadi pemicu ketidakpuasan.
Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM): Beberapa kelompok menilai bahwa pemerintahan Jokowi gagal menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu dan bahkan melakukan represi terhadap kelompok oposisi dan aktivis.
2. Media dan Ruang Publik sebagai Wahana Kritik
Seruan untuk mengadili Jokowi berkembang pesat di berbagai platform, baik formal maupun informal. Beberapa ruang utama di mana wacana ini muncul adalah:
a. Media Sosial
Media sosial seperti Twitter (X), Facebook, Instagram, Youtube, dan TikTok menjadi sarana utama bagi warganet untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Tagar seperti #AdiliJokowi dan #TangkapJokowi sering kali menjadi trending, menunjukkan tingginya animo publik dalam memperbincangkan isu ini.
b. Media Massa
Portal berita media online banyak memberitakan protes terhadap pemerintahan Jokowi. Opini dari pengamat politik dan akademisi juga semakin banyak mengisi kolom editorial di media arus utama, menunjukkan bahwa wacana ini telah berkembang dari sekadar percakapan warganet menjadi diskursus intelektual yang lebih luas.
c. Forum Diskusi dan Demonstrasi
Selain di ranah digital, tuntutan untuk mengadili Jokowi juga muncul dalam aksi demonstrasi, terutama yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa, aktivis HAM, dan organisasi masyarakat sipil. Demonstrasi di Jakarta, Yogyakarta, dan kota-kota lain sering kali membawa tuntutan agar Jokowi bertanggung jawab atas berbagai kebijakan yang dianggap merugikan rakyat.
d. Lembaga Hukum dan Akademik
Sejumlah pakar hukum mulai membahas kemungkinan langkah hukum terhadap Jokowi pasca-masa jabatannya. Kajian akademik dan diskusi publik mengenai pertanggungjawaban hukum mantan presiden menjadi semakin intens, terutama dalam konteks dugaan pelanggaran konstitusi dan etika pemerintahan.
3. Implikasi Politik dan Hukum
Seruan untuk mengadili Jokowi tidak hanya berdampak pada reputasi politiknya, tetapi juga pada stabilitas politik nasional. Ada beberapa kemungkinan dampak dari fenomena ini:
a. Polarisasi Politik yang Meningkat: Pro dan kontra terhadap Jokowi semakin tajam. Pendukungnya melihat tuntutan ini sebagai upaya delegitimasi, sementara oposisi menganggapnya sebagai langkah demokratis yang sah.
b. Tekanan terhadap Institusi Negara: Lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan tekanan untuk bertindak adil dalam menyikapi berbagai laporan dan tuntutan hukum terhadap Jokowi.
c. Preseden bagi Pemerintahan Mendatang: Jika wacana ini berkembang menjadi proses hukum yang nyata, maka ini akan menjadi preseden bagi pemerintahan mendatang. Presiden dan pejabat negara harus lebih berhati-hati dalam menjalankan kekuasaan agar tidak menghadapi tuntutan serupa di kemudian hari.
4. Kesimpulan
Seruan untuk mengadili Jokowi yang semakin luas mencerminkan ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap pemerintahannya. Dengan berkembangnya isu ini di media sosial, media massa, dan berbagai forum akademik serta hukum, terlihat bahwa demokrasi Indonesia masih hidup dan masyarakat masih berani menyuarakan kritik.
Namun, apakah tuntutan ini akan berujung pada proses hukum yang nyata atau hanya menjadi wacana politik, masih menjadi pertanyaan besar yang perlu diamati lebih lanjut.
Bagaimanapun, fenomena ini menjadi bukti bahwa demokrasi di Indonesia terus mengalami dinamika yang kompleks, di mana rakyat semakin berani menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemimpin mereka.
Jakarta, 24 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi