PAPUA - Kemarahan masyarakat Papua membuncah setelah aksi brutal kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) menewaskan warga sipil yang sedang membangun gereja di sebuah kampung pedalaman Wamena. Tragedi ini tak hanya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga menjadi titik balik kebangkitan suara rakyat Papua untuk melawan kekerasan yang mengatasnamakan perjuangan. Sabtu 7 Juni 2025.
Tokoh-tokoh gereja dan masyarakat menilai serangan tersebut sebagai tindakan biadab dan tidak manusiawi, terlebih karena dilakukan saat para korban tengah bergotong royong membangun rumah ibadah simbol damai dan pengharapan.
"Ini bukan perjuangan. Ini pembantaian. Gereja adalah tempat suci, bukan medan perang. Mereka yang membunuh tukang bangun gereja, telah kehilangan kemanusiaannya, " tegas Pendeta Markus Yikwa, tokoh gereja Wamena.
Ia menyerukan agar seluruh masyarakat Papua, khususnya di wilayah Pegunungan Tengah, bersatu menolak kehadiran OPM yang terus-menerus melakukan teror terhadap rakyatnya sendiri.
Kemarahan juga datang dari kalangan adat. Yulius Wonda, tokoh masyarakat Distrik Asotipo, Jayawijaya, menegaskan bahwa kesabaran rakyat telah habis. Ia menyebut tindakan OPM ini sebagai puncak dari deretan kekejaman yang sudah terlalu lama dibiarkan.
"Kalau yang dibunuh adalah orang yang membangun gereja, itu artinya OPM sudah tidak punya hati. Kami tidak takut lagi. Kami siap bantu aparat untuk lawan mereka, " tegasnya.
Yulius mengungkapkan bahwa selama ini masyarakat hidup dalam dilema dipaksa tunduk, atau menjadi korban. Tapi kini, kesadaran kolektif telah tumbuh. Masyarakat Papua sudah tidak mau lagi diam.
Pernyataan tegas juga datang dari para pemimpin spiritual dan adat yang tidak lagi menganggap OPM sebagai wakil aspirasi Papua. Sebaliknya, mereka menyebut kelompok tersebut telah menjelma menjadi entitas yang menodai nilai damai dan merusak masa depan generasi muda.
"Kami tidak ingin anak-anak Papua tumbuh dalam ketakutan. Cukup sudah. Ini waktunya kita bersatu melawan kekerasan yang hanya menambah luka bagi rakyat, " pungkas Pendeta Markus.
Masyarakat kini meminta pemerintah dan aparat keamanan untuk lebih sigap dan tegas dalam melindungi warga sipil, khususnya di daerah rawan. Tragedi berdarah di Wamena harus menjadi momentum untuk membuka mata semua pihak bahwa Papua butuh kedamaian, bukan senjata.
Dengan semakin banyak tokoh Papua yang bersuara lantang, sebuah babak baru telah dimulai: rakyat Papua perlahan bangkit, tak lagi diam, dan siap melawan kekejaman atas nama “perjuangan” yang sejatinya telah kehilangan nurani. (*/Red)