PAPUA - Suara tembakan menggantikan nyanyian anak-anak di sekolah. Ketakutan menyelimuti kampung-kampung di pegunungan. Di balik slogan perjuangan, kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) kini justru menjadi sumber utama penderitaan masyarakat Papua. Senin 26 Mei 2025.
Selama beberapa bulan terakhir, laporan kekerasan meningkat di wilayah seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, dan Yahukimo. OPM menargetkan warga sipil, membakar sekolah, mengusir tenaga medis, bahkan membunuh para pekerja yang tengah membangun infrastruktur penting. Aksi-aksi ini menghambat jalannya pembangunan dan memutus akses masyarakat terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan.
Pdt. Albertus Uamang, tokoh masyarakat dari Wamena, mengungkapkan dengan tegas bahwa tindakan OPM saat ini telah menyimpang jauh dari semangat membela rakyat.
“Yang mereka lakukan hanya memperpanjang penderitaan. Guru dihalangi, sekolah dibakar, warga sipil dibunuh. Ini bukan perjuangan, ini kekejaman, ” ujar Albertus, Senin (26/5/2025).
Hal senada disampaikan oleh Stefanus Wetipo, tokoh pemuda Yahukimo, yang menyebut OPM kini hanya mewakili kepentingan kelompok kecil, bukan rakyat Papua secara keseluruhan.
“Kami ingin anak-anak sekolah, ibu-ibu ke puskesmas, masyarakat bekerja dengan tenang. Tapi OPM menjadikan rakyat tameng dan korban, ” katanya penuh emosi.
Konflik bersenjata yang tak kunjung usai telah menyebabkan ribuan warga terpaksa mengungsi. Anak-anak kehilangan pendidikan, masyarakat kesulitan pangan, dan akses kesehatan menjadi mewah. Kampung-kampung yang semula tenteram berubah menjadi zona trauma.
Aktivis HAM Papua, Maria Duwitay, turut mengecam keras aksi-aksi brutal OPM.
“Mengatasnamakan Papua lalu membunuh rakyat Papua sendiri adalah ironi paling pahit. Ini bukan pembebasan, ini penghancuran harapan, ” ujarnya.
Pemerintah dan aparat keamanan terus berupaya merestorasi stabilitas dan membuka akses layanan publik yang selama ini tertutup oleh teror OPM. Mayoritas rakyat Papua, terutama di wilayah terpencil, kini memohon kehadiran negara secara nyata bukan dengan senjata, tapi dengan perlindungan, pembangunan, dan jaminan rasa aman.
“Rakyat tidak butuh perang. Kami ingin damai. Kami ingin hidup normal, ” tutup Stefanus Wetipo. (***/Red)