Rabu 24 September, Petani Geruduk Jakarta Tuntut Keadilan Agraria

3 hours ago 3

JAKARTA - Ribuan petani dari berbagai penjuru negeri dijadwalkan akan menggelar aksi besar-besaran pada 24 September mendatang, bertepatan dengan Hari Tani Nasional. Aksi ini bukan sekadar unjuk rasa biasa, melainkan sebuah seruan kuat untuk menuntut pemerintah agar segera menuntaskan 24 masalah struktural agraria yang telah lama membelit dan memperbaiki sembilan aspek krusial dalam pengelolaan lahan di Indonesia. Momentum ini diharapkan menjadi titik balik bagi nasib jutaan petani yang selama ini berjuang di tengah ketidakadilan.

Tidak tanggung-tanggung, sekitar 12 ribu petani diperkirakan akan memadati Ibu Kota Jakarta, menyuarakan aspirasi mereka di depan Gedung DPR RI. Bersama dengan elemen buruh, mahasiswa, dan berbagai gerakan masyarakat sipil, mereka akan menuntut perubahan nyata. Sementara itu, gelombang aksi serupa juga akan bergema di berbagai daerah, melibatkan 13 ribu petani lainnya di lokasi-lokasi strategis di seluruh Indonesia, menunjukkan bahwa isu agraria ini adalah masalah nasional yang mendesak.

"Melalui aksi ini, para petani akan menyampaikan sembilan tuntutan perbaikan atas 24 masalah struktural (krisis) agraria akibat 65 tahun UUPA 1960 dan agenda reforma agraria yang tidak dijalankan lintas rezim pemerintahan, " ungkap Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam keterangannya pada Minggu (21/9).

Dewi Kartika menyoroti kegagalan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang dibentuk selama sepuluh tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ia merasa miris melihat bagaimana ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia justru semakin menganga lebar, membuat petani kian terpinggirkan bahkan kehilangan tanah warisan leluhur. Pengalaman pahit ini dirasakan langsung oleh banyak petani yang hidupnya bergantung pada setiap jengkal tanah.

"Rakyat tetap tak punya kanal penyelesaian konflik agraria. Kementerian Agraria, Kehutanan, BUMN, Pertanian, Kementerian Desa PDTT dan Kementerian Koperasi, TNI-Polri dan lembaga negara lainnya masih abai pada masalah kronis agraria, " tegas Dewi Kartika, menggambarkan keputusasaan yang mendalam di kalangan petani.

Data yang disampaikan Dewi Kartika sungguh mencengangkan: satu persen kelompok elit di Indonesia menguasai 58 persen tanah, kekayaan alam, dan sumber produksi. Sementara itu, 99 persen penduduk Indonesia harus berebut sisa lahan yang semakin sempit. Kondisi ini, menurutnya, telah memicu peningkatan konflik agraria yang tajam selama dekade terakhir.

"Konflik agraria dengan luas mencapai 7, 4 juta hektar. Dampaknya, 1, 8 juta keluarga kehilangan tanah, kehilangan mata pencaharian dan masa depan, " papar Dewi Kartika, menyuarakan kepedihan jutaan keluarga petani yang terampas haknya.

Lebih lanjut, Dewi Kartika menjelaskan bahwa konflik agraria ini tidak hanya disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam menjalankan reforma agraria, tetapi juga akibat ekspansi proyek-proyek investasi dan bisnis ekstraktif skala besar yang terus dipaksakan. Ia mencontohkan, program seperti PSN, food estate, badan otorita kawasan strategis pariwisata nasional, kawasan ekonomi khusus, bank tanah, dan militerisasi pangan telah merambah ke kampung-kampung dan desa, merampas tanah petani dan wilayah adat, serta menutup akses nelayan ke laut akibat telah dikuasai para pengusaha.

Di sisi lain, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengemukakan pandangannya yang berbeda. Ia menyatakan bahwa berbagai program strategis yang telah dijalankan pemerintah telah membuahkan hasil yang signifikan, baik dari segi peningkatan produksi maupun kesejahteraan petani. Dalam Rapat Kerja bersama Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada Senin (15/9) lalu, Amran Sulaiman mengapresiasi capaian tersebut sebagai hasil kerja keras seluruh pihak.

"Pertama, kita lihat produksi khususnya beras hingga Oktober mencapai 31 juta ton. Ini proyeksi BPS. Estimasi kita 34 juta ton di 2025. Dan ini merupakan hasil kerja keras kita semua, termasuk support dari Komite II DPD RI, " ujar Amran Sulaiman, menyoroti optimisme terhadap ketahanan pangan nasional.

Lebih lanjut, Amran Sulaiman memaparkan bahwa pada tahun 2025, stok beras Indonesia diproyeksikan menembus 4, 2 juta ton, angka tertinggi sejak Indonesia merdeka. Sektor pertanian pun menunjukkan kontribusi vital terhadap PDB negara, mencatat pertumbuhan tertinggi di kuartal I tahun 2025 sebesar 10, 52 persen (year-on-year). Kesejahteraan petani juga tercermin dari nilai tukar petani (NTP) yang naik signifikan menjadi 123, 57.

Catatan positif ini bahkan mendapat pengakuan internasional, salah satunya dari FAO yang memproyeksikan lompatan produksi pangan Indonesia mencapai 35, 6 juta ton. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |