SEJARAH - Bayangkan dunia diselimuti kegelapan selama bertahun-tahun, langit tertutup abu vulkanik tebal, dan suhu anjlok drastis. Inilah gambaran kengerian yang dihadapi bumi 74.000 tahun lalu, ketika Gunung Toba di Sumatra Utara meletus dengan kekuatan dahsyat. Letusan super ini, yang kini membentuk keindahan Danau Toba, meninggalkan jejaknya di seluruh penjuru dunia, mengancam kelangsungan hidup semua organisme, termasuk nenek moyang kita.
Arkeolog Jayde N. Hirniak dari Arizona State University, yang mendalami peristiwa vulkanik masa lalu, terheran-heran dengan kemampuan manusia purba untuk bertahan dari bencana yang skalanya 10.000 kali lebih besar dari letusan Gunung St. Helens pada 1980. Sebagai perbandingan, letusan Toba melontarkan 2.800 kilometer kubik abu vulkanik ke stratosfer, menciptakan kawah raksasa sepanjang sekitar 1.000 lapangan sepak bola.
Dampak langsung di dekat Toba tentu sangat mematikan. Hujan asam mencemari sumber air, lapisan abu tebal menimbun flora dan fauna, dan langit gelap menghalangi sinar matahari, memicu era pendinginan global yang berpotensi berlangsung selama bertahun-tahun. Populasi manusia di sekitar gunung berapi kemungkinan besar lenyap tak bersisa. Namun, pertanyaan krusialnya adalah: bagaimana dengan manusia di belahan dunia lain?
Hipotesis bencana Toba sempat melukiskan skenario suram, menyebutkan peristiwa pendinginan global yang berlangsung hingga enam tahun dan menyebabkan populasi manusia menyusut drastis hingga di bawah 10.000 individu di seluruh Bumi. Bukti genetik dari genom manusia modern tampaknya mendukung gagasan ini, menunjukkan adanya 'bottleneck genetik' sekitar 100.000 tahun lalu, sebuah penurunan populasi mendadak yang mengurangi keragaman genetik.
Namun, apakah letusan Toba adalah penyebab tunggal penurunan populasi tersebut masih menjadi subjek perdebatan ilmiah. Studi terbaru justru menyoroti kisah ketahanan yang luar biasa, bukan kepunahan massal.
Dalam risetnya yang diterbitkan di jurnal Nature pada 2024, berjudul "Adaptive foraging behaviours in the Horn of Africa during Toba supereruption", Hirniak dan timnya menemukan bukti mengejutkan di berbagai situs arkeologi yang menunjukkan bahwa manusia tidak hanya bertahan, tetapi bahkan berkembang pasca-letusan Toba.
Di Afrika Selatan, misalnya, situs arkeologi Pinnacle Point 5-6 menunjukkan kehadiran manusia sebelum, selama, dan setelah letusan Toba. Menariknya, aktivitas manusia justru meningkat dan inovasi teknologi baru bermunculan sesudahnya. Ini adalah bukti nyata dari kemampuan adaptasi manusia yang luar biasa.
Tefra, material vulkanik yang dikeluarkan gunung berapi, menjadi saksi bisu. Cryptotephra, pecahan vulkanik mikroskopis yang dapat menyebar sangat jauh, ditemukan dalam lapisan arkeologi yang mencatat aktivitas manusia. (PERS)