Hendri Kampai: Apapun Alasannya, Penundaan Pengangkatan CASN dan PPPK Ada Hubungannya dengan Ketiadaan Anggaran

2 months ago 30

PEMERINTAHAN - Gelombang protes melanda dunia maya. Ribuan suara menggema melalui aksi pita hitam dan petisi online yang menolak penundaan pengangkatan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Penundaan ini diumumkan secara resmi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), menggeser jadwal pengangkatan ke Oktober 2025 dan Maret 2026. Dalih yang digunakan? Kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Namun, mari kita telaah lebih dalam: benarkah ini hanya soal teknis dan regulasi, atau justru karena ketiadaan anggaran?  

Alasan yang Dikemas, Realitas yang Tak Bisa Ditutupi  
Kepala Biro Data, Komunikasi, dan Informasi Publik (DAKIP) Kemenpan RB, Mohammad Averrouce, menegaskan bahwa penundaan ini adalah hasil kesepakatan dengan DPR. Pernyataan ini mungkin terdengar normatif, tapi publik tak bisa dibodohi begitu saja. Mengapa kesepakatan ini diambil? Mengapa janji pengangkatan yang sudah dinantikan oleh ribuan tenaga honorer tiba-tiba harus digeser?  

Tidak sulit membaca motif utama di balik keputusan ini. Negara tengah menghadapi persoalan fiskal serius, dan anggaran untuk pengangkatan pegawai baru jelas menjadi korban dari ketidakmampuan pemerintah mengelola keuangan negara dengan efektif. Jika anggaran tersedia dan tidak ada masalah likuiditas, apakah pemerintah akan menunda sesuatu yang seharusnya berjalan sesuai jadwal? Tidak.  

Masalah Anggaran: Fakta yang Tak Bisa Ditampik 
Indonesia bukan negara kaya raya yang bisa dengan mudah menggelontorkan dana untuk segala kebutuhan tanpa perencanaan matang. Namun, ketika menyangkut kebutuhan mendesak seperti pengangkatan pegawai ASN dan PPPK yang sudah lama dinantikan, justifikasi soal “kesepakatan dengan DPR” terdengar seperti upaya mengalihkan perhatian dari akar masalah sebenarnya: APBN dalam kondisi sulit.  

Lihat saja bagaimana pemerintah masih terus mengalokasikan dana triliunan untuk proyek-proyek strategis yang diragukan urgensinya. Infrastruktur megah yang tak sepenuhnya efisien, anggaran proyek-proyek mercusuar, hingga belanja pegawai yang tidak seimbang dengan kebutuhan riil birokrasi. Di sisi lain, tenaga honorer yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun justru dipaksa menunggu lebih lama dengan alasan yang samar.  

Ketiadaan anggaran juga terlihat dari keputusan pemerintah untuk lebih memprioritaskan sektor lain dibanding kesejahteraan tenaga honorer yang sudah bertahun-tahun menunggu kepastian status mereka. Jika pemerintah benar-benar peduli terhadap nasib mereka, solusi anggaran pasti bisa dicari.  

Dampak Penundaan: Nasib Ribuan Honorer yang Kembali Terombang-ambing  
Bagi para tenaga honorer yang sudah bekerja keras selama bertahun-tahun dengan gaji minim dan status tidak jelas, keputusan ini bukan hanya sekadar penundaan administratif. Ini adalah pukulan telak bagi harapan mereka.  

Bayangkan seorang guru honorer yang sudah 10 tahun mengabdi dengan gaji jauh di bawah UMR, berharap 2024 menjadi tahun perubahan bagi nasibnya. Namun, tiba-tiba pemerintah mengatakan, “Maaf, Anda harus menunggu dua tahun lagi.” Bagaimana mereka harus bertahan? Bagaimana mereka bisa memastikan kelangsungan hidup keluarga mereka dengan penghasilan yang serba pas-pasan?  

Tidak hanya itu, penundaan ini juga berpotensi memengaruhi kualitas layanan publik, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Banyak sekolah dan puskesmas di daerah yang sangat bergantung pada tenaga honorer. Jika mereka terus dibiarkan dalam ketidakpastian, motivasi kerja mereka akan semakin menurun, dan itu akan berdampak langsung pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.  

Janji yang Kembali Dikhianati  
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah selalu berjanji untuk menyelesaikan masalah tenaga honorer. Berbagai kebijakan telah diumumkan, mulai dari penghapusan tenaga honorer hingga rencana rekrutmen massal ASN dan PPPK. Namun, kenyataan di lapangan berbicara sebaliknya.  

Alih-alih memberikan kepastian, pemerintah justru kembali menunda pengangkatan mereka. Ini bukan pertama kalinya janji terkait tenaga honorer diingkari, dan jika pola ini terus berulang, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan semakin terkikis.  

Solusi: Transparansi dan Keberpihakan pada Rakyat  
Pemerintah seharusnya lebih transparan dalam menjelaskan alasan di balik penundaan ini. Jika memang anggaran menjadi kendala utama, katakanlah dengan jujur. Jangan berlindung di balik dalih “kesepakatan dengan DPR” tanpa memberikan penjelasan yang masuk akal kepada publik.  

Selain itu, diperlukan keberpihakan nyata terhadap tenaga honorer. Jika anggaran memang terbatas, mengapa tidak memprioritaskan pengangkatan mereka dibanding proyek-proyek lain yang tidak begitu mendesak? Mengapa tidak ada skema khusus yang bisa memastikan bahwa mereka tetap mendapatkan kesejahteraan yang layak meskipun pengangkatan ditunda?  

Kesimpulan: Publik Tidak Akan Lupa 
Penundaan pengangkatan CASN dan PPPK bukanlah sekadar persoalan teknis birokrasi. Ini adalah cerminan dari kebijakan fiskal yang tidak berpihak kepada tenaga honorer. Pemerintah boleh saja mengeluarkan berbagai alasan, tetapi publik tidak bodoh. Ketika sebuah kebijakan terus ditunda dengan alasan yang tidak masuk akal, rakyat akan mempertanyakan di mana sebenarnya keberpihakan pemerintah.  

Aksi pita hitam dan petisi online yang terus menggema adalah tanda bahwa publik tidak akan diam. Pemerintah boleh menunda, tapi satu hal yang pasti: publik tidak akan lupa.

Jakarta, 09 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |