Hendri Kampai: Belajar dari Mega Korupsi Pertamina, Indonesia Wajib Punya UU Perampasan Aset

1 month ago 22

HUKUM - Kasus mega korupsi di tubuh Pertamina kembali mencuat sebagai salah satu bukti nyata bahwa praktik korupsi di Indonesia masih menjadi permasalahan sistemik yang sulit diberantas. Kasus-kasus serupa sering kali berulang, dengan pola yang hampir sama: penyalahgunaan wewenang, praktik suap, dan penggelapan dana negara dalam jumlah yang fantastis. Sayangnya, meskipun banyak tersangka dijerat hukum, aset yang dikorupsi sering kali tidak kembali sepenuhnya kepada negara. Inilah yang menjadi urgensi bagi Indonesia untuk segera memiliki Undang-Undang (UU) Perampasan Aset Koruptor, agar dapat mengembalikan uang negara yang telah dirampas oleh para pelaku korupsi.

Mega Korupsi Pertamina: Sebuah Cermin Buram
Pertamina, sebagai perusahaan milik negara (BUMN) yang mengelola sektor energi strategis, memiliki peran vital dalam perekonomian nasional. Namun, beberapa kasus korupsi besar telah mengguncang citra perusahaan ini. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah dugaan korupsi pengadaan dan investasi Pertamina yang melibatkan pejabat tinggi di dalamnya. Dugaan skandal ini merugikan negara hingga triliunan rupiah, mencerminkan lemahnya pengawasan serta sistem pengendalian internal dalam tubuh BUMN.

Kasus-kasus korupsi di Pertamina bukanlah fenomena baru. Sebelumnya, terdapat berbagai kasus yang melibatkan oknum-oknum yang memanfaatkan celah hukum dan administrasi untuk memperkaya diri sendiri. Sayangnya, meskipun hukuman bagi para pelaku sudah cukup berat, aset hasil korupsi mereka tidak selalu dapat dikembalikan ke kas negara. Hal ini terjadi karena belum adanya regulasi yang secara tegas mengatur perampasan aset tanpa perlu menunggu vonis pidana.

Mengapa Indonesia Membutuhkan UU Perampasan Aset Koruptor?
Saat ini, mekanisme penyitaan aset dalam sistem hukum Indonesia masih bergantung pada putusan pengadilan pidana. Artinya, aset yang diduga berasal dari hasil tindak pidana baru dapat dirampas setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Proses hukum yang panjang dan kompleks sering kali dimanfaatkan oleh para koruptor untuk menyembunyikan atau memindahkan aset mereka ke luar negeri. Oleh karena itu, ada beberapa alasan utama mengapa UU Perampasan Aset Koruptor menjadi kebutuhan mendesak:

1. Efektivitas Pengembalian Kerugian Negara
Salah satu hambatan terbesar dalam pemberantasan korupsi adalah sulitnya mengembalikan aset yang telah dikorupsi. Tanpa mekanisme perampasan aset tanpa putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture), negara kerap kehilangan jejak aset yang telah dialihkan ke pihak ketiga atau disimpan di luar negeri. Dengan adanya UU ini, pemerintah bisa langsung menyita aset yang diduga berasal dari kejahatan meskipun belum ada putusan pengadilan yang inkrah.

2. Pencegahan dan Efek Jera
Perampasan aset merupakan salah satu instrumen penting untuk memberikan efek jera kepada para pelaku korupsi. Jika seorang koruptor tahu bahwa seluruh hasil kejahatannya akan disita, maka motif untuk melakukan korupsi bisa berkurang. Selama ini, banyak koruptor yang tetap menikmati kekayaannya setelah menjalani masa hukuman, karena tidak semua aset mereka dapat disita. Dengan UU Perampasan Aset, para koruptor tidak lagi bisa berlindung di balik celah hukum.

3. Mencegah Pencucian Uang dan Penghindaran Hukum
Koruptor sering kali menggunakan berbagai cara untuk menyamarkan aset hasil kejahatan, termasuk melalui pencucian uang atau pengalihan aset ke keluarga dan rekan bisnis. Tanpa mekanisme perampasan aset yang kuat, para penegak hukum akan kesulitan dalam melacak dan menyita kekayaan yang telah disembunyikan. Dengan adanya regulasi ini, negara memiliki kewenangan lebih besar untuk mengidentifikasi, membekukan, dan menyita aset yang terkait dengan tindak pidana korupsi.

4. Memenuhi Standar Internasional dalam Pemberantasan Korupsi
Banyak negara di dunia telah menerapkan sistem perampasan aset tanpa putusan pidana, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan beberapa negara Eropa. Bahkan, dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC), disebutkan bahwa negara-negara harus memiliki kebijakan perampasan aset untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan adanya UU ini, Indonesia dapat memperkuat komitmennya dalam memerangi korupsi secara global dan memperbaiki reputasi dalam hal transparansi dan akuntabilitas.

Tantangan dalam Implementasi UU Perampasan Aset Koruptor
Meskipun penting, penerapan UU Perampasan Aset di Indonesia bukan tanpa tantangan. Beberapa kendala yang mungkin dihadapi meliputi:

1. Resistensi dari Pihak yang Diuntungkan: Para koruptor dan kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi tentu akan menentang regulasi ini. Mereka bisa saja menggunakan pengaruhnya untuk melemahkan atau menggagalkan upaya pengesahan UU ini.

2. Masalah Hukum dan HAM: Ada kekhawatiran bahwa perampasan aset tanpa putusan pidana bisa bertentangan dengan prinsip asas praduga tak bersalah. Oleh karena itu, perancangan UU ini harus tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan negara dan hak individu.

3. Koordinasi Antar Lembaga: Penerapan UU ini membutuhkan koordinasi yang erat antara KPK, Kejaksaan, Polri, PPATK, dan Kementerian Keuangan. Tanpa mekanisme kerja yang jelas dan sinergis, pelaksanaan perampasan aset bisa menjadi tidak efektif.

4. Pemulihan Aset di Luar Negeri: Banyak aset hasil korupsi yang telah dialihkan ke luar negeri. Untuk mengembalikannya, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan negara lain melalui mekanisme mutual legal assistance (MLA) dan perjanjian ekstradisi.

Kasus mega korupsi Pertamina menjadi peringatan bagi Indonesia bahwa praktik korupsi masih merajalela dan sistem hukum yang ada belum cukup efektif dalam mengembalikan kerugian negara. Tanpa mekanisme perampasan aset yang kuat, para koruptor akan terus menemukan celah untuk menyembunyikan hasil kejahatannya. Oleh karena itu, Indonesia harus segera mengesahkan UU Perampasan Aset Koruptor guna memastikan bahwa hasil kejahatan tidak dapat dinikmati oleh pelaku maupun keluarganya. Selain meningkatkan efek jera, regulasi ini juga dapat memperkuat upaya Indonesia dalam memerangi korupsi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negeri ini. 

Jika Indonesia serius ingin memberantas korupsi, maka hukum harus tidak hanya menghukum orangnya, tetapi juga mengambil kembali semua hasil kejahatannya.

Jakarta, 01 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |