BIDIK KASUS - Ketika Joko Widodo pertama kali maju sebagai calon presiden pada 2014, ia membawa harapan besar. Pria yang dikenal dengan gaya merakyat dan pidato sederhana itu menjanjikan banyak hal—dari membangun industri nasional hingga menyejahterakan rakyat. Namun, kini, setelah dua periode kepemimpinannya hampir berakhir, banyak dari janji itu justru terbukti tak lebih dari sekadar retorika.
Salah satu yang paling ikonik adalah mobil nasional Esemka. Saat itu, Jokowi tampil bangga memperkenalkan proyek ini sebagai bukti bahwa Indonesia bisa mandiri di bidang otomotif. Masyarakat pun berharap Esemka akan menjadi kebanggaan nasional, pesaing produk asing di negeri sendiri. Namun, setelah bertahun-tahun, yang terjadi justru sebaliknya. Mobil itu hanya muncul sesekali di perbincangan, lalu menghilang. Pada akhirnya, ketika sempat diproduksi, publik terkejut bahwa mobil yang dijanjikan sebagai buatan anak bangsa ternyata hanya rebranding dari produk China.
Tak hanya itu, Jokowi juga berjanji akan menciptakan 10 juta lapangan kerja. Harapan itu disambut optimisme, terutama di kalangan generasi muda. Namun, setelah waktu berjalan, janji itu berubah menjadi ironi. Lapangan kerja semakin sulit didapat, sementara kebijakan yang diambil justru memperburuk nasib pekerja. Omnibus Law yang digadang-gadang akan menarik investasi malah membuat buruh kehilangan hak-haknya. Alih-alih menciptakan pekerjaan, kebijakan ini justru mempermudah PHK.
Di Jakarta, Jokowi juga pernah mengklaim bahwa dirinya mampu mengatasi banjir. Namun, Jakarta tetap banjir setiap tahun. Proyek normalisasi sungai yang sempat menjadi sorotan kini terbengkalai, dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sering kali penuh konflik. Banjir tetap datang, seolah-olah mengingatkan bahwa janji Jokowi tak pernah benar-benar ditepati.
Sementara itu, dalam berbagai kesempatan, Jokowi sering menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menambah utang. Namun, kini, utang negara justru melonjak drastis hingga lebih dari Rp8.000 triliun. Di balik pembangunan infrastruktur yang kerap dibanggakan, ada realita pahit: banyak proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri, sehingga generasi mendatang akan menanggung beban berat.
Salah satu proyek yang menjadi bukti nyata adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Awalnya, Jokowi bersumpah bahwa proyek ini tidak akan menggunakan dana APBN. Namun, ketika biaya membengkak, siapa yang menanggung? Negara. Pada akhirnya, dana APBN tetap digunakan, membuktikan bahwa janji itu tak lebih dari sekadar kata-kata manis. Hal serupa terjadi dengan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Jokowi berkali-kali mengatakan bahwa pembangunan ibu kota baru ini akan dibiayai oleh investor, bukan dari APBN. Namun, hingga kini, negara tetap harus mengeluarkan anggaran besar karena investasi asing yang dijanjikan tak kunjung datang.
Janji tentang banyaknya investor asing yang akan masuk ke IKN juga tak lebih dari ilusi. Hingga saat ini, investasi masih minim, dan sebagian besar dana yang mengalir berasal dari BUMN dan APBN. Investor luar negeri masih ragu-ragu, menunggu kepastian regulasi dan jaminan keberlanjutan proyek ini.
Dalam hal pemberantasan korupsi, Jokowi yang dulu berjanji akan memperkuat KPK justru melakukan hal yang sebaliknya. KPK dilemahkan, banyak kasus besar tak tersentuh, dan kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi merosot. Alih-alih memberantas korupsi, revisi UU KPK yang disahkan justru membuat lembaga ini kehilangan independensinya. Banyak kasus besar, seperti skandal Jiwasraya, ASABRI, BTS Kominfo, hingga pertambangan timah Bangka Belitung, tak mendapatkan perhatian yang seharusnya.
Salah satu janji yang kini menjadi bahan perbincangan adalah klaim bahwa anak-anaknya tidak akan terjun ke politik. Namun, realitas berbicara sebaliknya. Gibran Rakabuming Raka kini menjadi Wali Kota Solo dan bahkan maju sebagai calon wakil presiden. Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum PSI. Ini membuktikan bahwa janji itu hanya kata-kata yang tak memiliki makna.
Selain itu, Jokowi juga pernah berjanji untuk tidak cawe-cawe dalam pemilu dan pilkada. Tapi, apa yang terjadi di Pemilu 2024? Jokowi justru menjadi salah satu aktor utama dalam dinamika politik nasional, dari endorsement terhadap calon tertentu hingga dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Alih-alih menjadi presiden netral, Jokowi terlihat berusaha memastikan bahwa kekuasaannya tetap berlanjut dalam bentuk lain.
Yang paling ironis adalah janji bahwa ekonomi Indonesia akan meroket. Faktanya, ekonomi justru stagnan di kisaran 5%, jauh dari yang dijanjikan. Inflasi meningkat, harga-harga kebutuhan pokok melambung, dan daya beli masyarakat merosot. Bukannya meroket, ekonomi Indonesia justru dibayangi oleh utang, inflasi, dan ketidakpastian.
Kini, setelah hampir dua periode berlalu, rakyat bisa melihat dengan jelas: Janji-janji yang dulu begitu optimistis, kini justru menjadi cermin realitas yang pahit. Beberapa orang mungkin masih mencoba membela, mengatakan bahwa Jokowi telah bekerja keras. Namun, pada akhirnya, janji yang tidak ditepati adalah cerminan dari kepemimpinan yang tidak konsisten.
Rakyat kini bertanya, Apakah Jokowi benar-benar pemimpin yang bisa dipercaya, atau hanya seorang ahli narasi yang pandai merangkai kata-kata?
Jakarta, 17 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi