JAKARTA - Sebuah pukulan telak bagi keuangan negara terkuak di persidangan. Kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) ternyata telah menggerogoti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga mencapai angka fantastis Rp 285, 1 triliun. Angka ini bagaikan luka menganga yang disebabkan oleh serangkaian perbuatan melawan hukum yang melibatkan nama-nama besar di industri migas.
Dalam pusaran kasus ini, terungkap keterlibatan Muhammad Kerry Adrianto Riza, putra dari pengusaha minyak ternama Riza Chalid, yang juga menjabat sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa. Ia bersama empat terdakwa lainnya diduga menjadi aktor di balik kerugian negara yang begitu besar ini. Jaksa Penuntut Umum, Triyana Setia Putra, menegaskan bahwa perbuatan kelima terdakwa ini merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan, berujung pada hilangnya triliunan rupiah dari kas negara.
“Itu rangkaian perbuatan daripada terdakwa yang menjadi rangkaian penuh dan akhirnya menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 285 triliun, total seperti itu, ” ujar Jaksa Triyana Setia Putra seusai sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (13/10/2025).
Angka kerugian negara sebesar Rp 285, 1 triliun ini memang tidak berdiri sendiri dalam dakwaan terhadap Kerry dan rekan-rekannya. Jaksa memastikan bahwa perbuatan mereka terhubung dengan kasus-kasus lain yang tengah ditangani, menciptakan sebuah jaringan korupsi yang merambah dari hulu hingga hilir industri minyak.
“Semua klaster di dakwaan Pertamina itu satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Tata kelola mulai dari hulu, dari impor-ekspor minyak mentah, sampai nanti ke ada penjualan solar maupun subsidi BBM, ” jelas Jaksa Triyana.
Perbuatan melawan hukum yang menjadi akar kerugian negara ini terbagi dalam beberapa pos. Pertama, dalam pengadaan ekspor minyak mentah, negara melalui PT Pertamina dan anak perusahaannya harus menanggung kerugian sebesar 1.819.086.068, 47 dollar AS. Tak berhenti di situ, pada pengadaan impor minyak mentah, kerugian negara melonjak hingga 570.267.741, 36 dollar AS. Ironisnya, dalam pengadaan impor ini, sebanyak 19 perusahaan, termasuk entitas asing, diduga turut meraup keuntungan secara ilegal.
Selanjutnya, praktik korupsi merambah ke sektor pengadaan penyewaan kapal. Negara dilaporkan merugi sebesar Rp 1.073.619.047, 00 dan 11.094.802, 31 dollar AS. Dalam hal ini, nama pengusaha minyak Mohamad Riza Chalid dan putranya, Muhammad Kerry Adrianto Riza, kembali disebut-sebut sebagai pihak yang diduga menerima keuntungan.
Puncak dari rentetan kerugian ini terjadi pada pengadaan sewa terminal BBM, di mana negara harus merelakan dana sebesar Rp 2.905.420.003.854, 00 menguap. Biaya-biaya yang seharusnya tidak dikeluarkan ini diduga kuat telah masuk ke kantong Riza Chalid dan para kroninya, meninggalkan pil pahit bagi perekonomian bangsa. (PERS)