Jurnalis dan Nyala Abadi Sumpah Pemuda: Menjunjung Kebenaran, Merajut Persatuan

1 month ago 13

Surabaya - Setiap tanggal 28 Oktober, kalender nasional kita ditandai dengan sebuah peringatan yang melampaui seremoni formal: Hari Sumpah Pemuda. Kita mengenang momen sakral pada tahun 1928, ketika para pemuda-pemudi dari berbagai organisasi kedaerahan Jong Java, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, dan lainnya dengan gagah berani mengikrarkan sebuah janji suci. Sebuah ikrar yang, dalam kesederhanaan redaksinya, mengandung daya ledak pemersatu yang luar biasa, melampaui sekat suku, agama, dan daerah, untuk menegaskan persatuan dalam satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.

Sumpah Pemuda bukan sekadar kompilasi tiga poin, ia adalah cetak biru filosofis bagi pendirian sebuah negara-bangsa yang bertekad melepaskan diri dari belenggu kolonialisme. Ia adalah manifestasi pertama dari kesadaran kolektif bahwa keberagaman yang dimiliki bukanlah takdir perpecahan, melainkan fondasi kekuatan yang tak tertandingi.

Bagi kita, para jurnalis, semangat Sumpah Pemuda bukanlah sekadar narasi sejarah yang dihafal di sekolah. Ia adalah kompas moral abadi dan api semangat yang harus terus menyala dalam setiap liputan, setiap investigasi, setiap tulisan, dan setiap siaran yang kita produksi. Profesi kita adalah pewaris langsung dari semangat persatuan yang dicetuskan di Batavia kala itu. Jurnalisme adalah praktik nyata dari Sumpah Pemuda: mencari kebenaran yang universal (untuk satu tanah air), membangun narasi yang akurat (untuk satu bangsa), dan menyampaikannya dengan integritas (dengan satu bahasa).

Di tengah gelombang disrupsi digital yang masif, di mana informasi mengalir tanpa batas dan seringkali tanpa filter, relevansi Sumpah Pemuda bagi jurnalisme justru semakin mendesak. Sumpah Pemuda hari ini menuntut kita untuk menjadi benteng terdepan melawan polarisasi, hoaks, dan disintegrasi informasi.

Ikrar pertama, "Bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia", adalah pernyataan kedaulatan geografis dan spiritual. Bagi jurnalis, ikrar ini diterjemahkan sebagai panggilan untuk mengabdi pada kepentingan nasional yang lebih besar, melampaui kepentingan kelompok, golongan, partai, atau bahkan kepentingan pribadi pemilik modal media.

Jurnalisme yang sejati harus berakar pada objektivitas dan independensi. Objektivitas di sini tidak diartikan sebagai netralitas pasif, melainkan sebagai komitmen metodologis untuk mencari, menguji, dan menyajikan fakta tanpa bias yang disengaja. Independensi berarti kebebasan dari tekanan politik, ekonomi, dan primordialisme.

Di era otonomi daerah dan desentralisasi, semangat "satu tanah air" seringkali diuji oleh munculnya narasi kedaerahan yang ekstrem, ego sektoral, dan bahkan konflik sumber daya. Tugas jurnalis adalah memastikan bahwa setiap peristiwa dan isu, dari konflik lahan di Kalimantan hingga sengketa batas di Papua, selalu dipandang dengan lensa kebangsaan. Kita harus menyoroti ketidakadilan, tetapi pada saat yang sama, kita harus selalu mengingatkan publik bahwa kita semua berada dalam kapal yang sama, yakni Republik Indonesia.

Kita harus waspada terhadap praktik jurnalisme yang hanya melayani satu segmen masyarakat. Jurnalisme yang baik tidak boleh hanya menjadi corong kepentingan Jakarta atau Jawa semata. Ia harus mencakup suara dari pedalaman, dari perbatasan, dari pulau-pulau terluar. Kita harus menjadi penghubung narasi yang menyajikan realitas Indonesia secara utuh, mulai dari kemajuan infrastruktur di perkotaan hingga tantangan kesehatan di desa terpencil. Jika kita gagal melakukan ini, kita berisiko menciptakan fragmentasi narasi yang pada akhirnya dapat mengancam keutuhan tanah air.

Untuk menjunjung "satu tanah air, " kita perlu menerapkan prinsip audit informasi yang ketat. Ini mencakup melibatkan semua pihak yang berkepentingan, terutama mereka yang rentan dan suaranya jarang terdengar, menyajikan isu lokal dalam bingkai yang lebih luas, dan menunjukkan bagaimana ia berkaitan dengan kebijakan nasional, hak asasi manusia, atau stabilitas ekonomi.

Selain mengkritisi masalah, kita juga harus menginvestigasi dan menyajikan solusi yang konstruktif, sehingga publik termotivasi untuk berpartisipasi dalam pembangunan, bukan hanya mengeluh atau terpolarisasi..Kita adalah penjaga narasi bangsa. Keberhasilan kita dalam menjaga objektivitas dan independensi adalah prasyarat bagi tegaknya keutuhan tanah air.

Ikrar kedua, "Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia", adalah pengakuan identitas kolektif yang mengatasi asal-usul primordial. Di abad ke-21, ancaman terbesar terhadap persatuan bangsa ini bukanlah invasi militer, melainkan hoaks, disinformasi, dan malinformation yang menyebar cepat melalui platform digital.

Ancaman ini memiliki kemampuan merusak yang luar biasa: ia dapat memicu konflik antar-agama, meretakkan kepercayaan publik terhadap institusi negara, dan bahkan menggoyahkan hasil-hasil demokrasi. Inilah medan perjuangan baru bagi pewaris Sumpah Pemuda.

Ikrar "satu bangsa" mewajibkan kita untuk menjadi benteng verifikasi yang tak tertembus. Tugas kita adalah membedah fakta, melawan kabar bohong, dan menyajikan kebenaran yang akurat. Akurasi bukan sekadar etika profesional; ia adalah senjata strategis kita dalam menjaga akal sehat publik.

Tanggung jawab ini menuntut Investigasi mendala tidak cukup hanya mengutip pernyataan; jurnalis harus melakukan investigasi mendalam untuk menemukan data primer, mewawancarai sumber kredibel, dan memvalidasi silang setiap klaim yang berpotensi memecah belah, memanfaatkan alat verifikasi digital, seperti reverse image search, analisis metadata, dan geo-location, untuk membongkar manipulasi konten, dan menjelaskan kepada publik bagaimana sebuah informasi diverifikasi. Dengan menjadi transparan, kita tidak hanya menyajikan fakta, tetapi juga mengedukasi publik tentang proses jurnalisme yang kredibel.

Memperkokoh "satu bangsa" juga berarti membangun ketahanan mental publik terhadap informasi palsu. Jurnalis tidak boleh berhenti pada pelaporan semata. Kita harus proaktif dalam upaya literasi media. Melalui konten edukasi, program verifikasi fakta, dan pelibatan komunitas, kita membantu masyarakat mengenali ciri-ciri hoaks dan disinformasi.

Di tengah suhu politik yang sering memanas, jurnalis harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam narasi polarisasi. Penggunaan label yang memecah belah, pelaporan yang sensasional tanpa substansi, dan framing yang sengaja mengadu domba adalah bentuk pengkhianatan terhadap ikrar "satu bangsa." Kita harus fokus pada isu substantif yang menyentuh kepentingan rakyat, bukan pada drama atau perpecahan elite.

Dengan menjalankan jurnalisme yang akurat, berimbang, dan beretika, kita mencegah narasi palsu mengoyak tenun kebangsaan, dan kita memastikan bahwa ikrar Sumpah Pemuda tetap relevan dalam lingkungan informasi yang kacau.

Sumpah ketiga, "Menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia", adalah pengakuan akan kekuatan kata. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah jembatan pemersatu, wadah integritas, dan manifestasi peradaban.

Bagi jurnalis, ikrar ini menuntut pertanggungjawaban ganda: pertanggungjawaban linguistik (menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar) dan pertanggungjawaban moral (menggunakan bahasa yang beretika). Bahasa Indonesia yang kita gunakan haruslah jelas, lugas, dan bebas dari bias yang terselubung. Jurnalis harus menghindari penggunaan istilah yang memicu kebencian (ujaran kebencian), merendahkan martabat individu atau kelompok, atau yang bersifat provokatif tanpa dasar fakta. Setiap kata yang kita tulis dan ucapkan memiliki potensi untuk membangun atau menghancurkan.

Bahasa persatuan berarti menjadikannya sarana yang kuat untuk menyuarakan aspirasi rakyat, mengkritisi dengan konstruktif, dan memperjuangkan keadilan. Kritik jurnalis harus tajam, berbasis data, dan disampaikan dengan etika. Jurnalisme yang baik adalah pengawas kekuasaan (watchdog). Kita harus berani menggunakan bahasa untuk mengungkap korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pelanggaran hak asasi manusia. Keberanian profesional adalah wujud nyata dari menjunjung bahasa persatuan; kita menggunakan kata-kata bukan untuk menyenangkan, tetapi untuk menuntut pertanggungjawaban demi kebaikan umum.

Kita harus melawan upaya-upaya untuk menutupi kebenaran dengan bahasa yang kabur, eufemisme, atau jargon teknis yang mengaburkan masalah. Jurnalis harus menyederhanakan bahasa kekuasaan agar mudah dipahami oleh masyarakat luas, memastikan bahwa rakyat benar-benar mengerti kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka.

Di platform digital, bahasa seringkali menjadi liar dan agresif. Jurnalis memiliki peran vital untuk menjadi teladan etika komunikasi. Ketika kita mengutip pernyataan yang provokatif, kita harus menyajikan konteks dan dampaknya secara bertanggung jawab. Kita harus memastikan bahwa platform media kita tidak menjadi panggung bagi ujaran kebencian, meskipun itu adalah kutipan. Integritas bahasa menuntut kita untuk selalu mengutamakan narasi yang menyatukan daripada yang memecah.

Khususnya bagi rekan-rekan jurnalis muda, Anda adalah pewaris langsung semangat 1928, tetapi Anda beroperasi di medan tempur yang jauh lebih kompleks. Jadikan teknologi dan platform digital bukan sekadar alat penyebaran, melainkan medan perjuangan baru untuk literasi media, kebajikan digital, dan etika profesional. Berkolaborasilah, berinovasilah, dan teruslah berkarya dengan nilai-nilai Sumpah Pemuda sebagai pedoman yang tidak pernah usang.

Di hari yang bersejarah ini, mari kita teguhkan kembali komitmen profesi kita: Menjadi jurnalis yang jujur dalam mencari fakta, berani dalam menyuarakan kebenaran.@Red. 

Penulis:
Dedik Sugianto
Pemred Media Sindikat Post

Read Entire Article
Karya | Politics | | |