PAPUA - Ketegangan kembali mencuat setelah kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengeluarkan pernyataan provokatif. Mereka menolak rencana pembangunan pos militer TNI di Puncak Jaya dan sembilan wilayah lain yang mereka sebut sebagai “zona perang.” Lebih jauh, kelompok itu bahkan mengancam akan menyerang aparat TNI-Polri dan memberi ultimatum kepada warga non-Papua untuk meninggalkan daerah tersebut. Kamis (11/9/2025).
Ancaman itu sontak menimbulkan keresahan. Namun, di tengah propaganda yang dilancarkan OPM, pemerintah menegaskan bahwa kehadiran TNI di Papua bukanlah bentuk penindasan, melainkan langkah konstitusional yang sah demi menjaga keselamatan masyarakat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Landasan Konstitusional dan Legalitas Kehadiran TNI
Kehadiran TNI di Papua memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat. Konstitusi Republik Indonesia melalui Pasal 30 UUD 1945 menegaskan bahwa TNI adalah alat negara yang bertugas menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia memperjelas mandat itu. Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 3 dan 4, TNI ditugaskan mengamankan wilayah perbatasan dan mengatasi gerakan separatis bersenjata. Pasal 9 bahkan memberikan kewenangan kepada TNI untuk membangun sarana-prasarana pendukung tugas pokoknya.
Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 menegaskan peran Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) sebagai garda terdepan dalam menghadapi ancaman strategis, termasuk konflik bersenjata di Papua.
Dengan dasar tersebut, pembangunan pos militer di daerah rawan seperti Puncak Jaya jelas merupakan langkah legal, konstitusional, sekaligus strategis. Tujuannya bukan untuk menakut-nakuti warga, tetapi untuk menjamin keselamatan masyarakat sipil, melindungi pembangunan nasional, dan mencegah meluasnya aksi kekerasan oleh kelompok bersenjata.
Pendekatan Humanis: TNI Hadir untuk Masyarakat
Meski berstatus sebagai aparat pertahanan, TNI menekankan bahwa keberadaannya di Papua tidak semata bersifat militeristik. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua, yang menempatkan TNI sebagai mitra dalam pembangunan sosial.
Pendekatan itu diwujudkan dengan berbagai kegiatan, mulai dari memberikan rasa aman, membantu pemerintah daerah menyediakan layanan dasar, mendukung pendidikan dan kesehatan, hingga membangun komunikasi sosial dengan masyarakat secara inklusif.
Dalam menjalankan operasi di lapangan, TNI berpegang pada prinsip profesionalisme, proporsionalitas, serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), sesuai aturan Hukum Humaniter Internasional.
Ancaman OPM dan Pelanggaran HAM
Di sisi lain, ancaman TPNPB-OPM justru memperlihatkan wajah asli gerakan separatis. Mereka bukan hanya menargetkan aparat keamanan, tetapi juga menyerang guru, tenaga medis, pekerja infrastruktur, bahkan masyarakat sipil yang tidak bersalah.
Aksi-aksi brutal itu sejalan dengan definisi tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 6 dan 9 menyebutkan, penggunaan kekerasan yang menimbulkan teror luas pada masyarakat sipil termasuk dalam kategori tindak pidana terorisme.
Lebih jauh, tindakan OPM juga melanggar prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional, yakni:
* Distinction: membedakan kombatan dan sipil,
* Proportionality: mencegah kerugian berlebihan pada warga sipil,
* Precaution: melarang serangan membabi buta tanpa perencanaan.
Kenyataannya, kelompok ini justru menargetkan rakyat kecil yang seharusnya dilindungi.
TNI sebagai Simbol Kehadiran Negara
Melihat fakta tersebut, kehadiran TNI di Papua adalah wujud nyata hadirnya negara dalam melindungi seluruh warganya, termasuk masyarakat asli Papua. Kehadiran itu berlandaskan pada tiga prinsip utama:
1. Legalitas – sesuai dengan konstitusi dan undang-undang,
2. Akuntabilitas – diawasi secara internal maupun eksternal,
3. Profesionalitas – dijalankan dengan standar hukum dan HAM.
Negara menolak segala bentuk kekerasan yang ditimbulkan oleh OPM. Sebaliknya, pemerintah melalui TNI berkomitmen menghadirkan rasa aman, menjamin keadilan, serta mengawal pembangunan yang berkeadilan di Papua.
Kesimpulan;
Kehadiran TNI di Papua adalah tugas konstitusional, bukan penindasan. TNI hadir untuk memastikan rakyat bisa hidup tanpa teror, anak-anak bisa bersekolah, tenaga kesehatan bisa melayani dengan aman, dan pembangunan bisa terus berjalan.
Propaganda OPM yang menyebut TNI sebagai penjajah hanyalah upaya membalikkan fakta. Justru dengan kehadiran TNI, Papua tetap berada dalam pangkuan NKRI dengan jaminan keamanan dan perlindungan hak-hak rakyat.
Authentication:
Dansatgas Media HABEMA, Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono