JAYAPURA - Belakangan ini, wacana penarikan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) non-organik dari Papua Pegunungan kembali ramai dibicarakan. Sejumlah pihak mendesak agar pemerintah segera menarik pasukan yang ditugaskan di wilayah rawan konflik itu, dengan alasan kehadiran mereka dianggap menimbulkan masalah baru. Kamis (25/09/2025).
Namun, fakta di lapangan menunjukkan gambaran yang jauh lebih kompleks. Bagi banyak masyarakat Papua Pegunungan, kehadiran TNI justru dianggap sebagai pelindung yang memberikan rasa aman sekaligus penopang kehidupan sehari-hari di tengah situasi yang masih penuh tantangan. Pertanyaannya, apakah penarikan mendadak benar-benar solusi, atau justru membuka ruang bagi masalah yang lebih besar?
Kewajiban Negara Menjaga Kedaulatan dan Keamanan
Tugas utama TNI jelas diatur dalam konstitusi: melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Papua Pegunungan hingga kini masih menghadapi ancaman nyata dari kelompok bersenjata separatis yang kerap menyerang warga sipil maupun aparat.
Jika pasukan non-organik ditarik secara mendadak, dikhawatirkan akan terjadi kekosongan keamanan. Kondisi itu justru berpotensi memperbesar penderitaan masyarakat yang selama ini mengandalkan perlindungan aparat negara.
Tantangan Geografis dan Dukungan Lapangan
Papua Pegunungan dikenal dengan medan berat, akses transportasi terbatas, dan infrastruktur yang masih minim. Dalam kondisi tersebut, kehadiran pasukan non-organik menjadi penopang penting.
Mereka tidak hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga membantu mengatasi persoalan logistik: mulai dari distribusi bahan pokok, membuka jalan darurat, hingga menyalurkan bantuan ke daerah-daerah terpencil. Peran ini sulit digantikan jika pasukan ditarik tanpa perencanaan matang.
Sisi Humanis Kehadiran TNI di Papua
TNI non-organik di Papua bukan hanya identik dengan operasi militer. Mereka juga hadir dengan pendekatan humanis yang langsung dirasakan masyarakat.
Bakti sosial, pelayanan kesehatan gratis, evakuasi medis darurat, hingga pendampingan bagi ibu hamil sering dilakukan prajurit di pedalaman. Bahkan, tidak jarang prajurit ikut mengajar di sekolah-sekolah yang kekurangan guru, membantu memperbaiki jembatan gantung, membangun fasilitas air bersih, hingga ikut serta dalam pesta adat masyarakat.
Kehadiran mereka membaur sebagai saudara, bukan sekadar aparat keamanan. Inilah wajah lain TNI yang jarang tersorot dalam narasi besar soal Papua.
Militer dan Isu HAM: Tidak Selalu Identik dengan Pelanggaran
Salah satu kritik yang kerap dilontarkan adalah asumsi bahwa keberadaan militer selalu identik dengan pelanggaran HAM. Padahal, generalisasi semacam ini tidak sepenuhnya tepat.
Banyak operasi TNI di Papua dilakukan secara profesional, dengan prinsip utama melindungi warga. Jika pun ada pelanggaran yang dilakukan oknum, mekanisme hukum tersedia dan harus ditegakkan. Solusi yang diperlukan adalah pengawasan ketat dan penegakan hukum, bukan melemahkan peran negara dalam menjaga keamanan.
Risiko Penarikan Mendadak
Mendesak penarikan pasukan tanpa transisi jelas mengandung risiko besar. Kekosongan keamanan dapat memberi ruang bagi kelompok separatis untuk memperluas aksi teror. Warga sipil, terutama yang tinggal di pedalaman, akan menjadi korban utama karena kehilangan perlindungan dan bantuan yang selama ini mereka terima.
Stabilitas yang mulai terbentuk bisa runtuh dalam waktu singkat, mengembalikan masyarakat pada rasa takut dan isolasi.
Jalan Tengah: Reformasi dan Pengawasan
Penarikan total bukanlah jawaban, tetapi reformasi dan pengawasan adalah kunci. Evaluasi operasi militer tetap penting, begitu pula penguatan pasukan organik lokal agar lebih mandiri.
Selain itu, keterlibatan lembaga independen seperti Komnas HAM, tokoh adat, dan tokoh agama dalam pengawasan dapat memastikan kehadiran TNI benar-benar bermanfaat dan tidak disalahgunakan. Program humanis TNI juga perlu diperluas, agar masyarakat semakin merasakan manfaat langsung dari keberadaan mereka.
Penutup: Perlindungan dan Kemanusiaan sebagai Prioritas
Papua Pegunungan membutuhkan rasa aman, sekaligus sentuhan kemanusiaan. Kehadiran TNI non-organik sejatinya bukan sekadar operasi militer, melainkan juga wujud kepedulian negara: mengobati yang sakit, membantu yang kekurangan, hingga membangun yang tertinggal.
Solusi terbaik bukanlah penarikan mendadak yang berisiko, melainkan pengawasan, reformasi, dan penguatan peran humanis TNI. Karena pada akhirnya, keamanan dan kesejahteraan rakyat Papua adalah prioritas tertinggi negara.
(Redaksi (JIS)